opini

Perombakan Kabinet Kedua Menjadi Neoliberal Sejati

Rabu, 27 Juli 2016 | 11:41 WIB
images_berita_Jul_16_reshuffle

Jakarta, KlikAnggaran.com - Reshuffle Kabinet Jilid II telah diselenggarakan dan susunan menteri yang baru pun sudah diumumkan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara siang tadi, Rabu (27/7). Pendapat baik yang pro dan kontra datang dari berbagai penjuru sama ramainya seperti saat perombakan belum dilaksanakan. Menyikapi hal ini, ekonom sekaligus pengamat politik, Ichsanuddin Noorsy, mengajak kita untuk duduk sesaat, melegakan seluruh organ tubuh tak terkecuali pikiran, ingatan, dan hati.

Selanjutnya Ichsanuddin mengajak untuk sejenak menengok ke belakang, tentang fakta kegagalan dalam mengatasi gejolak melambannya perekonomian nasional yang memburuk. Namun, dengan tegar menghadapi vonis Pansus Pelindo II pada Desember 2015, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan personalia yang kedua Kebinet Kerja.

 

Kembalinya Sri Mulyani Inderawati sebagai Menkeu, lalu Tom Lembong sebagai Ketua BKPM mengeliminasi Franky Sibarani, Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian menggantikan Saleh Husin, Enggartiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan menggeser Tom Lembong, dan bertahannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN, menurut Ichsanuddin, mengindikasikan kembalinya kiblat kebijakan ekonomi ke Barat.

Sikap dasar kebijakan ini dinilai Ichsanuddin masih konsisten dengan 12 paket kebijakan ekonomi sebelumnya yang tidak membuahkan iklim perekonomian menggairahkan dan gagal mengatasi ketimpangan. Sementara efektivitas UU Tax Amnesty masih diragukan keberhasilannya. Dalam situasi ekonomi AS dan Uni Eropa menuju resesi, juga situasi ekonomi RRC yang melamban, sementara Jepang memberlakukan suku bunga negatif, maka model kebijakan ekonomi yang dipilih melalui para tokoh tersebut bisa diyakini berpijak pada neoliberal sejati.

"Artinya, liberalisasi perekonomian akan berjalan tanpa hambatan dan meningkat sebagaimana kebijakan yang telah diterbitkan. Peran swasta yang makin kukuh dalam penyediaan hajat hidup orang banyak dan kebijakan membatasi belanja anggaran untuk penyediaan kebutuhan sosial pun akan makin menjadi pedoman sakral. Tetapi, tidak berarti tesa yang saya bangun bahwa Indonesia sebagai kancah pertempuran ekonomi AS dan RRC akan menyurut," papar Ichsanuddin.

Dalam pengamatannya, benar bahwa kehadiran Sri Mulyani, Tom Lembong, Airlangga Hartarto, Bambang Brodjonegoro sebagai Kepala Bappenas, dan Enggartiasto Lukita, akan menginjeksi semangat baru pergerakan ekonomi nasional. Tetapi, semangat dan gairah ini justru mengindikasikan bahwa jalur kebijakan keuangan tetap dikendalikan Barat sementara jalur perdagangan dan infrastruktur akan didominasi RRC.

Ichsanuddin mengatakan bahwa situasi ini mungkin merupakan terjemahan ekonomi politik luar negeri yang bebas aktif. Tetapi, kenyataan menunjukkan keberpihakan kepada Barat, tepatnya kepada AS tetap konsisten dilakukan. Guna mencapai target, maka yang terpenting adalah kinerja pertumbuhan ekonomi bertengger 5,2 persen, tanpa peduli bagaimana kualitas dan siapa pemilik pertumbuhan ekonomi itu.

Jika di AS kerisauan tentang ketimpangan ekonomi mendera seluruh lini kehidupan sosial, dan sebenarnya AS sejak 1970 gagal mencapai pemulihan ekonomi sebagaimana Robert J. Gordon menulis, maka pilihan kebijakan ekonomi berkiblat ke AS bukanlah jawaban untuk memenuhi janji Trisakti dan Ekonomi Konstitusi. Yang patut dicatat, Sri Mulyani meninggalkan jabatannya dengan prestasi Gini rasio 0,41, yang berarti situasi perekonomian telah melahirkan ketimpangan dan lampu kuning mulai menyala.

"Presentasi saya di berbagai lembaga dan kementerian membuktikan, situasi perekonomian telah membuahkan konflik sosial secara vertikal dan horisontal yang terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitas. Pembatalan 3114 Perda oleh Presiden Joko Widodo baru-baru ini salah satunya merupakan bukti upaya mengatasi meluasnya konflik vertikal secara formal, sebagaimana saya presentasikan di Lemhanas," kata Ichsanuddin.

Kemudian Ichsanuddin sedikit mengulas kejadian pada tahun 2012. Bahwa dari sisi lain, kehadiran Sri Mulyani sebagai Menkeu saat ini juga mengindikasikan bahwa kasus Bank Century terkubur. Kewenangan Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus itu telah berbuah menyakitkan bagi Budi Mulya dan keluarga, sementara di sisi lain menghadirkan ketenangan bagi Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, Mulyaman Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan.

"Nampaknya, di balik kehadiran Sri Mulyani terdapat pesan bahwa Kabinet Kerja memberi peluang besar bagi kekuatan barat dan kekuatan politik dalam negeri tertentu. Peluang ini memberi jalan bagi Sri Mulyani untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai Capres 2019. Pesan lainnya adalah, kebijakan yang diterbitkan kendati merugikan negara menurut lembaga peradilan, disikapi sebagai tidak bisa dipidanakan. Sikap ini konsisten dengan kebijakan sebelumnya bahwa hak diskresi tidak bisa dipidanakan," tutur Ichsanuddin.

Selanjutnya dengan gamblang Ichsanuddin menjabarkan tentang tergusurnya Rizal Ramli, yang menurutnya telah menggelar fakta bahwa, jika ingin menjadi menteri jangan pernah menunjukkan sikap bertentangan dengan Barat, Konglomerat, dan kekuatan politik nasional tanpa bentuk. Paling tidak, selama Rizal Ramli menjadi Menko, dia dituding gaduh soal mafia pengadaan pesawat Air Bus untuk PT. Garuda, mafia PLN khusus proyek 35 GW, Blok Masela, dan kasus reklamasi.

Menurut Ichsanuddin, Rizal bukan hanya berseberangan dengan Wapres Jusuf Kala, tetapi juga dengan pribadi-pribadi yang menjalankan kepentingan konglomerasi dan kepentingan Barat serta kekuatan bisnis dan politik yang mendanai Pilpres, sebagaimana pernyataan Ahok. Sedangkan dipertahankannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN menunjukkan betapa Joko Widodo percaya diri menghadapi kekuatan partai-partai di DPR. Kemudian merujuk UU 17/2004 pasal 74, Presiden Joko Widodo wajib menindaklanjuti keputusan Pansus Pelindo II yakni memberhentikan Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN. Hingga perombakan struktur personalia Kabinet Kerja berlangsung, Rini Soemarno tetap pada jabatannya. Sementara sejumlah personalia yang direkomendasikan PDIP duduk sebagai Menteri di Kabinet Kerja tidak dicopot atau digeser.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB