opini

Mengkhawatirkan Kebangkitan PKI

Senin, 23 Mei 2016 | 11:01 WIB
images_berita_Hantu-PKI

Belum lama ini masyarakat kita diramaikan dengan berita razia serta penyitaan oleh aparat keamanan atribut yang berlogo palu arit yang tidak lain adalah logo Partai Komunis Indonesia (PKI). Barang-barang yang disita pun beragam, dari mulai kaos hingga mainan anak-anak yang berlogo PKI, bahkan di beberapa daerah terjadi penyitaan buku-buku yang dianggap berbau komunis. Media Sosial pun tak kalah ramai, para pengguna Medsos menggunakan media tersebut untuk memposting gerakan anti komunis, bahkan kesaksian-kesaksian para tokoh yang dianggap sebagai korban kekejaman komunis. Selain itu juga ada postingan yang menggambarkan kekejaman golongan anti komunis saat melakukan pembunuhan kepada kelompok komunis.

 

Sebenarnya, seberapa pentingkah membicarakan tentang kebangkitan Neo PKI? Atau, apakah PKI dapat muncul kembali dan melakukan aksi seperti yang dilakukan pada tahun 1948 atau 1965?

Ajaran komunisme masuk ke Indonesia pada masa Pergerakan Nasional, melalui organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging. Organisasi ini didirikan oleh tokoh Belanda bernama Sneevliet. Organisasi ini menjadi besar setelah meyusup ke organisasi besar bernama Sarekat Islam cabang Semarang. Tahun 1921, Central Sarekat Islam melakukan disiplin organisasi, akhirnya Sarekat Islam cabang Semarang memutuskan untuk keluar dari CSI dan kemudian berubah menjadi Sarekat Rakyat dan pada akhirnya bermetamorfosa menjadi Partai Komunis Hindia dan berubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia. Aksi partai ini terjadi ketika pada tahun 1926 melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di beberapa daerah di antaranya adalah Banten. Tahun 1927 juga terjadi aksi serupa di Silungkang Sumatera Barat. Namun, hal yang perlu diingat adalah perlawanan tersebut dilakukan kepada pemerintah kolonial Belanda, sebab negara Indonesia belum terbentuk. Perlawanan PKI tersebut dapat dikatakan berakhir setelah pemerintah melakukan tindakan tegas dengan melakukan penangkapan dan pembuangan tokoh-tokoh komunis di wilayah Papua.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, di beberapa daerah terjadi Revolusi Sosial, berupa perebutan kekuasaan dari tangan birokrat lokal yang dianggap pro penjajah ke tangan rakyat yang anti penjajah. Salah satu Revolusi Sosial yang pernah terjadi adalah Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi di Brebes, Tegal, dan Pemalang, yang ketiganya berada dalam wilayah eks Keresidenan Pekalongan. Pergolakan ini diduga digerakkan juga oleh kelompok komunis. Namun, pergolakan ini tidak berdampak dibubarkannya partai tersebut. Terbukti tahun 1948, pasca tumbangnya pemerintahan Amir Syarifuddin akibat Renville, terjadi peristiwa Madiun Affair.

Peristiwa Madiun diawali dari berkembangnya gerakan oposisi terhadap pemerintah Hatta melalui organisasi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Namun, pasca kepulangan Musso, tujuan mengalami perubahan. Hal ini disebabkan, di antaranya oleh adanya perubahan garis politik Comminforn (organisasi komunis sedunia) dari garis Dimitrov menjadi garis Zdanov, sehingga tujuan oposisi berubah menjadi menguasai pemerintahan Indonesia dan menerapkan ideologi komunis. Terdapat sumber lain yang menganalisa penyebab munculnya Peristiwa Madiun, di antaranya adalah Pertemuan Sarangan Juli 1948. Pertemuan ini membahas rencana penghancuran anasir kiri melalui Red Drive Proposal. Sehingga kelompok kiri diprovokasi oleh Hatta untuk melakukan aksi di Madiun dan kemudian dihancurkan dengan tujuan mendapat simpati dari Amerika Serikat. Namun, sumber ini sifatnya masih Fakta Lunak, bahkan dapat dikatakan minor. Pada tanggal 18 September 1948 Musso memproklamasikan berdirinya Negara Sovyet Republik Indonesia dengan ideologi Sosialis Komunis. Hal ini tentu saja mengakibatkan berangnya pemerintah pusat. Bahkan Soekarno yang merupakan kawan dekat Musso mengeluarkan pernyataan “Ikut Bung Karno atau ikut Musso”, menunjukkan kemarahan pemerintah pusat terhadap aksi Musso. Pergolakan ini dapat dihancurkan melalui Gerakan Operasi Militer yang dipimpin oleh Gatot Soebroto tepat pada tanggal 30 September 1948. Musso ditembak mati ketika akan ditangkap dan Amir Syarifuddin dihukum mati. Namun, Soekarno menolak membubarkan PKI dengan alasan bahwa mengawasi aktivitas PKI yang Upperground lebih mudah daripada mengawasi aktivitas PKI yang Underground. Kebijakan presiden inilah yang menjadi salah satu sebab PKI bangkit kembali dan berkembang, bahkan menjadi pesat di bawah komando D.N Aidit, Nyoto, dan Lukman. Terbukti pada tahun 1955, PKI menjadi empat besar partai pemenang pemilu, tetapi sayang Masyumi dan PNI dengan tegas menolak berkoalisi dengan PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, PKI semakin mendapat payung politik yang disebabkan oleh kedekatan partai tersebut dengan Soekarno. Namun, perlu diingat bahwa kedekatan PKI dengan Soekarno bukan atas dasar ideologi, tetapi lebih pada azas manfaat. PKI pada masa Demokrasi Liberal manuver politiknya terhambat membutuhkan kekuasaan Soekarno, sedangkan Soekaro yang mulai kehilangan pamor di PNI membutuhkan PKI, sebab hanya PKI yang dapat mendukung sepenuhnya kebijakan Soekarno. 

Pada tahun 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal, sekaligus Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin, sebuah masa dimana kekuasaan Soekarno sebagai presiden sangat besar. Pada kondisi seperti itulah PKI memanfaatkan kekuasaan dan dominasi Soekarno. Dominasi PKI menjadi semakin besar pasca pembubaran Partai Masyumi, partai yang selama ini melakukan penentangan terhadap kekuatan PKI, sehingga kelompok yang mengimbangi PKI di pemerintahan adalah Angkatan Darat, terutama adalah Menpangad Jenderal Ahmad Yani dan kelompoknya. Pertentangan PKI dan Angkatan Darat semakin pelik ketika Ahmad Yani menolak usulan PKI mengenai ide pembentukan Angkatan Kelima yaitu buruh tani dipersenjatai. Selain itu hubungan PKI dengan AD juga semakin tidak harmonis ketika terjadi peristiwa konflik lahan di wilayah Bandar Betsi di Sumatera, bahkan Ahmad Yani sangat marah dengan tindakan massa yang membunuh anggota AD yang bernama Pelda Sujono. Kondisi inilah yang terjadi menjelang G30S/PKI. 

Pasca G30S/PKI, kondisi politik di Indonesia terutama di Jakarta menjadi semakin panas, masing-masing angkatan dalam tubuh ABRI saling mencurigai. Pemerintah berupaya untuk menguasai keadaan dengan menunjuk Soeharto sebagai perwira yang bertugas mengambil langkah pengamanan dan memulihkan ketertiban. Pasca menerima Surat Perintah 11 Maret, tindakan pertama Soeharto adalah membubuarkan PKI dan semua ormasnya, bahkan Soeharto menunjuk Sarwo Edhie Wibowo-teman dekat Ahmad Yani-sebagai pelaksana penangkapan dan eksekusi tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa terebut ataupun tokoh-tokoh PKI dan ormas yang dianggap dekat dengan partai tersebut. Melalui MPRS yang diketuai oleh Nasution ditetapkan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran dan pelarangan keberadaan PKI dan ormas-ormasnya dan juga pelarangan menyebarkan dan mengembangkan ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme. Seketika organisasi komunis tersebut menjadi hanya tinggal sejarah, dan sepanjang Orde Baru tidak muncul lagi sebagai kekuatan politik yang berarti.

Ketika pemerintahan Orde Baru jatuh, tepatnya tahun 1998, kondisi politik dunia sudah berubah, Perang Dingin sudah berakhir. Dengan runtuhnya Uni Sovyet, ideologi Komunisme merupakan ideologi yang bangkrut, ideologi yang tidak bisa menjaga keutuhan negara, sehingga banyak negara komunis yang merevisi ideologi tersebut sesuai dengan kondisi di negaranya bahkan tak jarang juga negara komunis yang sudah meninggalkan ideologi tersebut, sehingga dapat dikatakan ideologi komunis menjadi ideologi usang yang sulit berkembang.

Dari pemaparan tadi dapat terlihat jelas bahwa berkembangnya sebuah ideologi didukung oleh perlindungan pemerintah, dan berkembangnya ideologi di negara lain. Untuk kondisi saat ini, kekhawatiran terhadap bangkitnya komunis mungkin menjadi suatu hal yang wajar. Tetapi, jika dilakukan dengan sweeping buku-buku komunis, logo komunis, bahkan mainan anak yang bergambar bendera Uni Sovyet, menjadi tidak wajar dan terlalu membabi buta. Kebangkitan PKI pada saat ini sangat sulit terjadi, sebab dukungan yang tidak ada dari pemerintah, penentangan yang besar dari bangsa Indonesia, bahkan tidak terdapatnya kiblat politik komunis, sehingga kita sebagai bangsa menyikapi wacana kebangkitan PKI dengan wajar dan tidak terlalu paranoid terhadap wacana tersebut.

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB