opini

Pendidikan Karakater Yang Terlewatkan

Senin, 2 Mei 2016 | 15:58 WIB
images_GAMBAR-PENDIDIKAN-KARAKTER

Kedua, hal non-teknis. Dengan kata lain, saya menduga adanya “agenda tersembunyi” (hidden agenda) yang terjadi pada dunia dan sistem pendidikan di Indonesia, yang datangnya dari dalam dan luar. Dari dalam artinya, pemerintah memiliki kepentingan “tertentu” dengan dipaksakannya UN dan UU BHP. Dari luar artinya, ada suatu upaya merontokkan ideologi bangsa oleh kekuatan “asing” dengan menghilangkan kebudayaan dari pendidikan. Ada upaya “Barat-isasi” (Istilah ini lebih disukai serta diciptakan/dicetuskan sendiri oleh penulis ketimbang westernisasi) dengan hanya menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu subjek/materi wajib dalam UN dibanding bahasa Indonesia sendiri misalnya.

Menjadi pertanyaan besar di dunia pendidikan Indonesia, mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Ke mana hilangnya istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan pendidikan sebagai alat pembebasan?

Bercermin pada kenyataan dunia pendidikan kita saat ini, yang suka tidak suka, kita katakan mengalami dekadensi akut jika pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebudayaan dan alat pembebasan. Meski kita juga tidak bisa menutupi beberapa kemajuan di sisi lainnya (persoalan kompetensi). Akan tetapi, gambaran dari marak dan mewabahnya kasus korupsi di Indonesia belakangan ini, ditambah lagi dengan kasus pengemplangan dan penggelapan pajak, kemudian, “rusak”nya moral para pejabat pemerintah atau negara baik itu di DPRD/RI (legislative), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konsttusi (MK), Kejaksaan dan Kehakiman (yudikatif), dan ditingkat eksekutif, mengindikasikan sesuatu yang lain.

Kasus suap Jaksa Urip, penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan, dugaan pembunuhan oleh Antasari Azhar, Susno Duaji dan juga Edmon Ilyas dan Budi Gunawan (pembesar kepolisian) yang diduga menerima uang pajak gelap dan memiliki rekening liar, serta kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar beberapa waktu silam misalnya, juga yang baru-baru ini kasus suap Sekretaris MA, Nurhadi, jika dirunutkan dan dikaitkan, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam dunia dan kurikulum pendidikan kita. Secara moral (kesalehan pribadi), mereka adalah orang yang baik (minimal di mata keluarganya) Edmon Ilyas misalkan, ia adalah orang yang baik di mata masyarakat lingkungannya. Ia selalu ramah jika berhadapan dengan masyarakat dan selalu bertegur sapa dengan tetangga. Bahkan, ia juga membangun rumah ibadah.

Begitupula Gayus Tambunan, ketika salah-satu stasiun TV menyiarkan berita dengan topik masa remaja dan kepribadian Gayus Tambunan beberapa waktu lalu. Ayah Gayus Tambunan malah tidak percaya dengan kasus yang diperbuat oleh anaknya. Ia mengatakan bahwa Gayus anak yang baik, rajin dan pandai di sekolahnya. Gayus juga selalu bersikap santun pada orang tuanya. Demikian pula halnya dengan Antasari Azhar, Susno, Edmon, bahkan mantan Gubernur Banten pun dia (mungkin) sangat baik dan dermawan pada keluarga besarnya. Mereka adalah orang yang sangat baik dan dicintai keluarganya. Lalu, apanya yang salah dengan mereka? Pandidikankah? Justru, mereka orang yang berprestasi dan bertitel tinggi!

Kalau mau jujur, bahwa memang ada yang keliru bahkan salah dalam sistem pendidikan kita. Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira, kini telah kehilangan ruh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri. Selama ini sistem pendidikan di Indonesia telah alpa/terlewatkan dari pendidikan budi pekerti, moral (karakter), adab, nilai-nilai spiritual (tidak melulu soal agama) yang kesemuanya itu menjadi satu rangkaian yang kita sebut sebagai spiritualitas nusantara yang terbangun dari nilai Pancasila.

Bahkan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 telah menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan berbagai masalah bangsa terutama di bidang pendidikan merekomendasikan: 1. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninjau ulang pendidikan karakter yang masih lemah dan belum menjadi kesadaran atau internalisasi nilai-nilai, serta belum berorientasi ke masa depan (mutu dan kepribadian unggul) bagi peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak bisa diaplikasikan dengan maksimal. 2. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan kepada peserta didik karakter yang mulia, baik terkait hubungan dengan manusia (hablu minannas), dengan Allah (hablu minailah), dan dengan alam (hablum minal ‘alam). 3. Nilai-nilai kepesantrenan (kemandirian, keikhlasan, ketawadhu’an, dan hidup sederhana) itu sangat sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 tentang pendidikan yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia, oleh karena itu nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai bagian pendidikan karakter dari sistem pendidikan nasional. 4. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi para pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan dan menjamin pendidik bisa berperan aktif untuk menjalankan pendidikan karakter. 5. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyempurnakan sistem ujian nasional (UN) agar dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang selama ini menghambat tercapainya standar kualitas pendidikan nasional yang diharapkan seperti pelanggaran dan kecurangan. 6. PBNU harus mendorong berkembangnya peraturan-peraturan daerah yang mempertimbangkan tradisi-tradisi lokal keagamaan agar menjadi spirit pendidikan.Pendidikan di Indonesia juga alpa dari sistem meritokrasi (proses pencapain-pencapaian prestasi), sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker (orang yang suka hidup dalam dunia keremeh-temehan, hedon dan instan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, agar cepat kaya, ya, korupsi). Bahkan pendidikan nasional kita hampir-hampir mengingkari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri atau khittahnya sebagai manusia yang terdidik dari perut sampai lahir dan sampai mati (Dalam mahfudzot berbunyi: “‘utlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” yang artinya: tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.).

Kata “terdidik” atau “pendidikan” tidak selalu merujuk pada kata “sekolah atau sekolahan” yang legalistik–formalistik. Tetapi, manusia itu sejak awal diciptakannya memang sudah Tuhan berikan “pendidikan.” Selain dari itu, pendidikan sejatinya harus bisa memberikan ilmu (gogik) yang berfa’idah/bermanfaat yang dapat menciptakan iklim saling asah-asih-asuh (fa’idah/paeda) bagi perkembangan dan kemajuan kehidupan kebangsaan kita. Ilmu yang berfaidah kemudian dikenal dengan istilah pedagogik yang sesungguhnya merujuk, menuju dan mewujud pada kalimat ilmu yang bermanfaat. Dus, yang membedakan kata “pendidikan” dangan kata “sekolah” adalah: “pendidikan” mengajarkan atau mendidik manusia berkarakter, bermoral, spirituil, berilmu pengetahuan, beriman, dan bertaqwa. Sedangkan “sekolah” mengajarkan orang mengejar ijazah atau nilai-nilai yang bersifat ornamental sesaat.

Atas persoalan di atas, saya ingin mengatakan bahwa di Indonesia banyak terjadi kontradiksi/paradoksal dalam kehidupan. Paradoksal yang disebabkan oleh pendidikan yang tidak berangkat dan bertitik-tolak dari pendidikan karakter. Lantas, pendidikan karakter yang seperti apa, bagaimana dan bersumber dari mana? Jelas, pendidikan karakter yang mampu membangun insan-insan Indonesia yang berbudaya, yang mampu membangun kesadaran dan disiplin diri, dan, mampu membangun serta mewujudkan keshalehan privat menjadi keshalehan publik. Dan, jelas pula, pendidikan karakter yang bersumber dari budaya, falsafah, ideologi dan jati diri bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Menjadi pertanyaan besar selanjutnya ialah apakah pendidikan nasional kita sudah sesuai dengan tujuan hakikinya, yakni menjadikan manusia yang berilmu-manfaat serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa? Atau membentuk insan yang berdasarkan serta bernafaskan Pancasila? Apakah tujuan pendidikan Pancasila sudah dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran?

Oleh karena itu, program pendidikan ke depan yang harus diutamakan adalah sistem pendidikan karakter. Mengapa? Karena banyak orang yang baik/shaleh secara individu (ruang privat), tetapi belum tentu menjamin mereka juga shaleh secara sosial (ruang publik). Ketika mereka menjabat posisi publik, ternyata mereka tidak mampu merevolusi dan mentransformasi keshalehan privatnya tersebut ke dalam posisi publik di mana ia ditempatkan. Lalu bagaimana caranya? Mari kita rumuskan dan ejawantahkan bersama karakter pendidikan Indonesia yang sesungguhnya, yang “membumi,” demi mewujudkan amanat serta cita-cita proklamasi dan UUD 1945, yaitu, mencerdakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa tahu ini saatnya![]

Penulis: Abdul Ghopur, Intelektual Muda NU;

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)

(Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan. Menulis beberapa buku diantaranya: “SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SALAH KELOLA! Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial,” 2012, diterbitkan: LTN PBNU, “QUO VADIS NASIONALISME?, Merajut Kembali Nasionalisme Kita yang Terkoyak,” 2015, & “IRONI DEMOKRASI,” 2016, diterbitkan: LKSB & BSD MIPA)

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB