opini

Pendidikan Karakater Yang Terlewatkan

Senin, 2 Mei 2016 | 15:58 WIB
images_GAMBAR-PENDIDIKAN-KARAKTER

Masih ingat dengan semboyan; “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani? Masih ingat artinya? Ya, semboyan ini dicetuskan lebih dari setengah abad yang lalu, yang artinya; “di depan sebagai pemimpin mesti memberi teladan, di tengah-tengah siswa membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa, dari belakang yang tua mendorong dan mengarahkan.” Semboyan ini merupakan “Trilogi Kepemimpinan” Tamansiswa yang didirikan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal 28 April 1959. Dan, setiap tanggal 2 Mei kita memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Dalam sejarah panjang pendidikan di Indonesia, banyak sekali terjadi pergantian dan rancang-bangun sistem pendidikan. Ini terjadi (mungkin sejak awal berdirinya republik ini) karena setiap Menteri Pendidikan atau setiap rezim tepatnya, memiliki cara pandang dan ideologinya sendiri. Hal ini juga terkait dengan situasi dan kondisi sebuah pemerintahan atau rezim. Kalau pada masa revolusi, sistem pendidikan di Indonesia lebih didasarkan dan ditujukan sebagai semangat perlawanan terhadap sistem penindasan (kebudayaan, ekonomi, dan politik) kolonial. Sistem pendidikan di Indonesia waktu itu lebih mendasarkan diri pada karakter pendidikan yang membebaskan (Pancasila).

Namun, di era globalisasi yang menuntut keahlian baik skiil maupun intelektuil dan kapital, maka sistem pendidikan mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan, sistem pendidikan kita dewasa ini kurang menyerap dan mengapresiasi aspirasi masyarakat banyak. Salah satunya yang menjadi polemik dan kontroversi berkepanjangan ialah sistem penilaian akhir siswa/siswi/peserta didik secara nasional. Sistem itu adalah Ujian Nasional (UN). UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa/siswi. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN, sekolah dan guru akan dipacu untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa/siswi dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa/siswi didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.

Sementara, di pihak lain tidak setuju, karena menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita, dari pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme, ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif dan hanya mengejar nilai (ijazah) dan angka-angka yang terlihat “indah” namun sesungguhnya hanya artifisial dan kurang berarti bagi kehidupan kebangsaan kita.

Kita memaklumi pula bahwa UN yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.

Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, mencontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.

 

Wajah Pendidikan Kian Memperihatinkan

Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontra produktif dengan semangat dan ruh pendidikan, tetapi, pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar, terutama dalam –meminjam istilah Michel Foaucault- diskursus ilmu pendidikan. Pada praksis pendidikan problem tersebut antara lain adalah dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) beberapa tahun silam yang sarat nuansa neoliberal, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang akan turut melegitimasi RUU BHP, Peraturan Mendiknas No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dalil keabsahan UN walaupun bertentangan dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang telah berbuah banyak tragedi menimpa guru dan murid, juga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gaji guru yang masuk dalam alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dunia pendidikan, dan banyak lagi lainnya. Sementara pada tataran fundamental, pendidikan kita tak banyak ide-ide besar, pikiran-pikiran besar yang mampu menjadi diskursus ilmu pendidikan dan kemudian menjadi landasan filosofis dan ideologis yang kokoh bagi sistem pendidikan nasional (“Membaca Ki Hajar Dewantara,” Edi Subkhan, 2008).

Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita menyaksikan terjadi suatu degradasi dan demoralisasi (peluruhan kebudayaan) di dunia pendidikan kita. Apa buktinya? Banyak hal sesungguhnya dapat dijadikan bukti. Dan, bukti-bukti itu secara umum bisa kita bagi dalam dua hal. Yakni, pertama, kemerosotan pendidikan di Indonesia saat ini terjadi melalui hal teknis. Yaitu, dipisahnya kata “pendidikan” dengan “kebudayaan.” Ini terkait dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan, yang dulunya menjadi satu–Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (Depdikbud/P&K). Sekarang menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Seolah-olah, kebudayaan hanya berwujud dalam arketip-arketip dan wisata-wisata pulau (sekarang kita sering mendengar istilah wisata budaya) (“Pendidikan Karakter yang Terlupakan,” Abdul Ghopur, Duta Masyarakat, 3/5/2010). Ya, itu benar. Tapi itu bukan satu-satunya dan bukan yang utama. Kebudayaan sesungguhnya mengandaikan adanya nilai, norma, adat-istiadat serta kultur dan karakter suatu bangsa. Dan, di dalam nilai suatu bangsa Indonesia, merujuk pada jati diri bangsa, filosofi, dan Ideologi. Yakni, PANCASILA! (Lihat, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONA, BAB II, Pasal 2, Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan, mengindikasikan adanya usaha melepaskan nilai budaya dari proses pendidikan. Nilai budaya menjadi hilang dari pendidikan, yang sesungguhnya nilai tersebut inheren (melekat) serta saling berkelindan, juga tidak dapat dilepaskan/dipisahkan satu sama lainnya!

Hal teknis lain tentulah, termasuk ide dijadikannya UN sebagai ukuran/standarisasi mutu dan keberhasilan siswa/siswi sekolah secara nasional. Di situ terjadi proses “perobotan/robotisasi” manusia sebagai individu yang memiliki budi pekerti dan bagian dari kebudayaan.

Dalam “pendidikan kapitalis,” atau pendidikan berbasis kapital-neoliberal, telah menciptakan manusia-manusia robot atau “robot-robot bernyawa,” yang mengajarkan cara bertahan hidup (Survival of The Fittes) dengan cara “membunuh” yang lain (kill or to be killed). Pendidikan model begini, secara menohok dapat digambarkan dalam tradisi matador (secara harfiah berarti pembunuh) yaitu manusia diadu dengan banteng di spanyol. Adu banteng adalah seni, way of life, kekejaman, dan yang paling penting dalam adu banteng ini hanya ada 2 pilihan yaitu “membunuh atau dibunuh.” Inilah yang membedakan antara pendidikan ala’ kapitalis versus pendidikan berdasarkan Pancasila yang mengajarkan keluhuran budi-nurani yang menciptakan menusia yang berguna bagi manusia yang lainnya (khoirunnas anfa’uhum linnas/sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesamanya bahkan bagi alam semesta).

Para peserta didik menjadi kehilangan kepekaan sosialnya (sence of social crisis) atau meminjam istilah Soekarno sebagai hilangnya kasadaran budi nurani manusia (social conscience/consciousness of men). Karena terbatas hanya memiliki kemampuan teknis (skiil) dan hanya menjadi manusia “siap pakai” (hanya diaplikasikan untuk kerja dan kerja atau ilmu untuk ilmu). Hal teknis lainnya adalah dibuatnya UU BHP (meski, syukur telah dibatalkan oleh MK) yang mengarah pada komersialisasi pendidikan. UU BHP sesunggunya mirip dengan UU yang pernah dibuat di masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Di mana orang-orang pribumi dilarang menyelanggarakan suatu badan/yayasan pendidikan atau sistem pendidikan ala Indonesia.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB