Penulis: Humaidi Nadjihun, Aktivis Islam Nusantara
Dua tahun belakangan ini, Kyai Said terus menuai protes karena pendapat atau perilakunya sebagai Ketum PBNU yang dinilai tidak sesuai standard islam awam dan cenderung kontroversial. Mulai dari kasus jenggot, syiah, salaman dengan Harry Tanoe hingga masalah memilih pemimpin kafir yang adil.
Mengenai kontroversi Kyai SAS ini, saya melihat ada dua pendapat kelompok yang berbeda.
Kelompok pertama, adalah mereka yang secara emosional langsung berkomentar sinis dan menyebar berita bahwa Kyai SAS berada di posisi yang tidak membela islam, tidak paham ajaran islam, atau malah disebut telah cenderung melecehkan atau mempermalukan ajaran islam. Tidak jarang, banyak juga kemudian yg sampai memaki Kyai SAS sesat, kafir dan sejenisnya. Seperti biasanya, model berita kecaman seperti ini akan langsung booming dimasyarakat dan mendapat porsi perhatian yang luar biasa.
Biasanya yg menyebar berita model ini adalah kelompok yang berseberangan dengan NU, atau kelompok NU yg gagal bersaing dalam pemilihan Ketum PBNU dalam Muktamar.
Kelompok kedua, kelompok yang tidak emosional dan tidak langsung menyerang Kyai SAS. Orang-orang yang berada pada jalur kedua ini memilih diam dahulu, menunggu penjelasan atau berusaha tabayyun. Selanjutnya mereka juga melakukan kajian dan penelusuran lewat kitab2 fiqih, hadits mengenai suatu perkara kontroversial tersebut.
Jika kelompok pertama langsung mengutip pendapat yang berseberangan dengan Kyai SAS, maka kelompok kedua berusaha mencari nalar di balik apa yang dilakukan Kyai SAS dan cenderung bersifat kompromis.
Memang, masalah siapa yg berada dijalur kebenaran akan terus menjadi ajang perdebatan. Namun tidak dapat dipungkiri, gara2 Kyai SAS pada akhirnya kita semua belajar lagi, belajar mengaji.