opini

Akal Bulus di Balik Perpustakaan DPR

Kamis, 21 April 2016 | 13:59 WIB
images_bookshelf-1082309_640

Ditulis oleh: Uchok Sky Khadafi, Direktur Center for Budget Analysis

Wacana pembangunan gedung-baru di kompleks DPR  menyeruak lagi ke permukaan publik.  Tetapi, wacana yang menyeruak itu bukan lagi pembangunan gedung-ruangan-baru yang akan diperuntukkan sebagai tempat berkantor anggota dewan. Malahan, yang muncul adalah pembangunan perpustakaan DPR. Ada perubahaan "judul" dalam wacana sekarang: “Pembangunan Perpustakaan DPR”. Judul yang cukup manis. Tentu kita masih ingat bahwa kemarin pimpinan dewan ngotot menggunakan judul “Pembangunan Gedung Baru DPR” maka saat itu, publik pun bereaksi menolaknya. Sadar akan penolakan yang terdahulu, maka pimpinan DPR memberikan “judul baru” untuk rencana  yang sama.

Salah satu pemicu kemunculan wacana itu adalah kunjungan para cendekiawan dan budayawan ke Gedung DPR. Mereka bertemu dengan pimpinan DPR dan mengusulkan pembangunan gedung perpustakaan baru di kompleks DPR.  Entah disadari entah tidak oleh para cendekiawan dan budayawan, usulan mereka kemudian dijadikan “amunisi” oleh pimpinan DPR sebagai dukungan pembangunan gedung baru di kompleks DPR. Sebab, usulan cendekiawan ini tentu bukan main-main atau hanya sebuah basa basi kepada DPR. Dan oleh sebab itu, oleh Ketua DPR, Ade Komarudin (biasa dipanggil Akom), dukungan tersebut dijadikan sebagai pijakan moral untuk membujuk publik agar rela atas keinginan DPR agar pembangunan gedung baru harus dilanjutkan. Tetapi, pengumuman ke publik mesti disiasati supaya lebih menyakinkan, bisa memberikan pesona kepada mereka, dan agar publik tidak memberikan resistans. Yang harus dinyatakan ke publik bukan pembangunan gedung baru untuk ruangan baru anggota dewan, melainkan pembangunan gedung perpustakaan DPR.

Dengan cara mengubah “judul pengumuman” diharapkan tidak akan ada yang berani protes begitu pedas kepada DPR. Kalaupun nanti ada yang ngeyel untuk tetap melakukan protes atau kritik atas pembangunan perpustakaan, maka akan dianggap sebagai orang bodoh yang anti-intelektual. Karena, pembangunan gedung perpustakaan ini bukan hanya  untuk anggota dewan agar IQ mereka bisa meningkat dan menjadi cerdas lagi, tetapi juga untuk masyarakat agar lebih pintar.

Adanya dukungan dari cendekiawan dan budayawan itu membuat Akom, sang Ketua DPR, langsung lupa diri. Sikapnya berubah dalam sekejap. Hal itu memperlihatkan Akom  tidak punya sikap konsisten dalam berucap.  Ucapannya selalu berubah-ubah seenaknya sesuai dengan seleranya. Hari ini Akom getol  berbicara tentang keinginannya membangun perpustakaan termegah se-Asia Tenggara di kompleks DPR dengan alokasi anggaran sebesar Rp 570 miliar pada tahun 2016. Padahal, kemarin atau waktu baru dilantik, Akom menampakkan komitmen serius, sehingga dikagumi banyak pihak, untuk menjaga citra DPR agar tetap "manis" dimata publik. Pernyataan-pernyataan Akom yang manis dan sedap ke publik itu--seperti mendukung moratorium Presiden Jokowi atas pembangunan gedung pemerintah, soal peningkatan kinerja legislasi, dan pengurangan kunjungan kerja ke luar negeri—telah menambah kepercayaan publik  kepada lembaga parlemen yang selama ini selalu dicap sebagai lembaga negara terkorup.

Tampaknya Ketua DPR, Akom, sepertinya ingin melanjutkan "cita-cita" Setya Novanto (Setnov), yaitu membangun gedung mewah untuk anggota DPR. Ini artinya juga antara Akom dan Setnov ternyata sama sama memiliki “hobi” yang mirip, yaitu menyukai proyek-proyek fisik di DPR, alias   proyek fisik oriented.  Cuma saja, ada sedikit perbedaan, yaitu di angle-nya, alias pintu masuk dalam penjelasan atau pencitraan ke publik untuk menggarap macam-macam proyek  fisik DPR. Kalau Setnov, tipe orang yang langsung to the point, tidak menyukai basa-basi apa apa pun, dan mengabaikan kritik publik atas kebijakannya. Setnov menunjukkan sikap keukeuh merealisasi pembangunan tujuh megaproyek  di komplek DPR, seperti pembangunan gedung DPR, perpustakaan, alun alun demokrasi, jalan aksi bagi tamu ke gedung DPR, visitor center, pembangunan ruang pusat kajian legislasi, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR. Sebaliknya, Akom sebagai Ketua DPR yang menggantikan Setnov lebih mengutamakan pakai jurus "akal-akalan" dengan gaya mengubah judul nama proyeknya. Dulu namanya  tujuh megaproyek DPR dan sekarang namanya pembangunan gedung perpustakaan.

Kalau dicermati lebih mendalam, akan terlihat bahwa jurus “akal-akalan” ini hanya sebuah alat pendekatan kepada publik agar tidak terus-menerus menyerang Akom. Dengan mempergunakan jurus akal-akalan ini, Akom mengharapkan publik tidak merasa dikelabui oleh DPR. Memang, terlihat bahwa cara ini dianggap seolah olah lebih intelek sehingga akan mendulang dukungan dari publik. Padahal, bila ingin tulus dan ikhlas bahwa pembangunan gedung perpustakaan di DPR untuk kepentingan masyarakat, tidak seharusnya menunjukkan "kengototan"  sebab hal itu akan mempertaruhkan citra DPR sebagai penggarap proyek-proyek fisik. Akan lebih baik, Akom sebagai ketua DPR terlebih dahulu mengutarakan konsep perpustakaan yang diinginkan oleh DPR. Dengan penjelasan konsep dari Ketua DPR, diharapkan publik akan memahami bahwa perpustakaan yang akan dibangun merupakan sebuah kebutuhan anggota sebagai bagian dari penunjang kinerja dewan.

Perlu dicatat bahwa apabila perpustakaan yang akan dibangun itu lebih hebat se-Asia Tenggara dengan koleksi buku yang memenuhi semua rak yang tersedia, maka sebetulnya hal itu bukan sebuah perpustakaan yang didambakan yang dapat memenuhi kebutuhan bagi anggota DPR. Ini sama juga sebuah kemubajiran. Pembangunan perpustakaan ini hanya menghambur-hamburkan duit pajak rakyat saja. Kita wajib mengingat bahwa kita  sudah mempunyai Perpustakaan Nasional yang memiliki koleksi yang lengkap dengan sumber daya manusia yang unggul  dan berpengalaman dalam mengelolaan perpustakaan besar sehingga rasanya sangat sulit disaingi dan digantikan perannya oleh perpustakaan DPR.

Yang harus dilakukan DPR adalah menata ulang konsep perpustakaan yang ada saat ini di DPR. Seharusnya Perpustakaan DPR bukan seperti perpustakaan umum. Akan lebih baik, model perpustakaan DPR menyimpan hasil-hasil atau risalah rapat mereka agar bisa diakses publik dan sebagai “warisan” bagi anggota dewan di masa depan. Artinya, perpustakaan DPR adalah untuk menampung produk- produk pengetahuan apa saja yang akan dihasilkan baik oleh DPR secara kelembagaan maupun tulisan- tulisan dari seorang anggota dewan selama bertugas sebagai wakil rakyat.

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB