opini

Bagaimana Masa Depan PLN?

Rabu, 20 Desember 2017 | 03:07 WIB
images_berita_Nov17_2.-PLN

Klikanggaran.com (20/12/2017) – Prof. DR. Ir. Joni Hermana, Rektor ITS, dan Adi Soeprijanto, ITS, menyampaikan bagian akhir serial tulisan dari hasil kunjungan dinas PLN ke China, seperti yang diterima Klikanggaran.com pagi ini, Rabu (20/12/2017).

Tulisan tersebut mencoba menjawab pertanyaan penting yang mengusik yaitu, “Bagaimana masa depan PLN?

Selanjutnya, berikut ulasan yang sepertinya layak untuk disimak :

Agak janggal mungkin pertanyaannya, namun tentu saja hal ini bukan tanpa alasan. Ada beberapa persoalan inti yang menggantung.

Pertama, target Presiden terhadap capaian kapasitas 35000 MW nyaris terpenuhi, namun yang menjadi masalah adalah kebutuhan listrik di masyarakat ternyata tidak setinggi nilai kapasitas investasi yang telah terbangun. Terutama di luar Jawa, kebutuhan listrik masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang masih lamban. Nampaknya, keberadaan listrik dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa masih berkisar pada pertanyaan klasik: ayam atau telur? Bukan masalah lingkup pelayanan elektrifikasinya (yang sudah mencapai 93,08%), namun lebih kepada konsumsi pemakaian per kapita konsumen yang masih terlalu rendah (kita masih kurang lebih 1/5 dari konsumsi [kWh] per kapita Malaysia saat ini).

Kedua, tarif dari listrik sebagaimana umumnya komoditas utama masyarakat, air minum misalnya, besarannya dikunci Pemerintah. Artinya, perlu mekanisme panjang melalui DPR untuk menaikkannya. Ini sesuatu yang nyaris sulit kalau tidak boleh dikatakan tidak mungkin, karena prosesnya akan panjang dan berdarah-darah. Isu kenaikan tarif listrik, tingkat sensitivitasnya sangat tinggi di masyarakat, dan tentunya juga, negara tidak mau kehilangan muka seolah tidak mampu menyediakan tarif yang terjangkau. Di sisi lain, subsidi yang diberikan pemerintah kepada PLN jauh lebih rendah dari selisih harga jual dengan harga produksinya. Dampak dari  hal ini adalah tarif listrik kita tidak terlalu kompetitif dengan negara jiran itu, tetapi di sisi lain, jelas ini juga akan membebani PLN dalam jangka panjang.

Ketiga, PLN masih bertumpu pada sumber energi primer. Artinya, PLTU masih menjadi andalan mereka dalam menghasilkan listrik, dengan batubara sebagai sumber bahan baku utamanya. Namun anehnya, hampir semua produksi batubara yang dihasilkan Indonesia semuanya, atau lebih dari 80%, digunakan untuk ekspor, bukan untuk mem-back up kebutuhan bahan baku listrik dalam negeri. Sudah begitu, usaha produksinya hampir seluruhnya dikelola oleh swasta.

Luar biasa! Belum lagi, Indonesia merupakan negara ekportir batubara terbesar di dunia, padahal jika dilihat dari kapasitas cadangannya, Indonesia hanya negara keenam di dunia (atau hanya mewakili 3% cadangan batubara dunia). Kebijakan ini membawa konsekuensi yang membuat dahi berkenyit, yaitu harga batubara yang dibeli dan dibawa PLN dari Kalimantan ke Jawa, lebih mahal daripada harga per tonase batubara untuk pelayanan yang sama dari Kalimantan ke India!

Namun yang lebih penting lagi, boleh jadi akibat eksploitasi cadangan batubara besar-besaran untuk ekpor ini, Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang kehabisan cadangan barubaranya. Lalu, kemana PLN harus mendatangkan batubara untuk menghidupi mayoritas unit-unit pembangkit listriknya lagi? Sudah bisa ditebak, PLN akan semakin tergantung negara asing yang pada gilirannya akan semakin memperkecil ketahanan bangsa kita sesungguhnya.

Keempat, perkembangan pembangkit listrik dengan energi terbarukan (EBT) juga menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah menargetkan PLN untuk mampu menghasilkan EBTsekitar 23% pada tahun 2024. Saat ini capaian PLN masih sangat rendah, sehingga masih diperlukan perjalanan panjang untuk mencapai target pemerintah di atas.

Salah satu yang berpotensi diberdayakan adalah tenaga matahari, melalui teknologi sel surya, di samping panas bumi dan hydropower. Teknologi ini masih dalam tahap berkembang dan relatif mahal. Saat kunjungan kami ke industrinya di China, mereka pun masih belum sepenuhnya mandiri, karena masih harus berkolaborasi dengan negara Swiss dan beberapa negara Eropa Barat dalam memproduksi panel sel surya dan battery-nya. Belum sepenuhnya ‘Made in China’.

Namun, ada yang menarik kalau kita tarik garis lebih jauh. Di India dan juga di negara eks Eropa Timur, terutama Cheko. Perkembangan sel surya sudah mulai masiv dan berskala individu. Artinya ke depan, pelayanan listrik sudah tidak lagi akan bertumpu pada perusahaan konvensional yang rigid dan berbahan bakar batubara, tapi bertumpu pada unit-unit kecil skala individu yang mampu melayani dirinya secara mandiri di rumah masing-masing. Semua ini sepertinya tinggal soal waktu saja.

Rasanya belum hilang dari ingatan, PT. Pos dan Telekomunikasi harus banting setir ketika jasa pengiriman surat mereka diambil alih secara individual akibat keberadaan email. Disusul kemudian oleh PT. Telkom, ketika saluran kabel telepon mereka perlahan diganti oleh jaring nirkabel dari telepon genggam. Ke depan tidak heran, ketika sel surya telah mencapai skala ekonomis, kabel sutet juga mungkin menjadi barang kiloan (maaf) bersama kabel logam lainnya. Agak berlebihan memang, tapi hal itu bisa saja terjadi.

India misalnya, penelitian di negara ini telah mampu menghasilkan listrik sel surya pada nilai ekonomis 8,78 rupees (sekitar 1800 rupiah) per kwh. Cheko, sampai tahun 2010, menjadi penginvest nomor tiga setelah Jerman dan Italia dalam hal pengembangan sel surya. Walaupun setelah itu agak surut akibat kenaikan pajak sel surya, namun diramalkan akan naik kembali di tahun-tahun mendatang, terutama setelah Jerman bekerja sama dengan Prancis, berhasil mengkatrol efisiensi sel surya sampai 46 % pada tahun 2014. Bahkan, Jerman telah mencanangkan bahwa pada 2050, 60 % listrik mereka akan berasal dari sel surya.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB