Diakui atau tidak, nama Ahok sang petahana Gubernur DKI yang sedang non aktif dalam tempo yang singkat telah mendunia. Hampir pasti sebagian orang akan berpasal pada belitan kasus yang mendera--kasus sara dan mau Pilkada. Lintasan informasi nitizen di dunia maya saling saut membincang dugaan penistaan agama oleh sang petahana. Satu bulan terakhir, tepatnya pascagerakan 411 dan disusul 212 di mana sebagian umat Islam berkumpul di Monumen Nasional menuntut keberlanjutan dan percepatan tindakan hukum. Dinamika kasus yang masih dugaan itu semakin menggelora, bahkan cenderung tak terkendali. Tidak sedikit diskursus meja makan, meja kerja, riuhnya pasar membincang ihwal ini. Bahkan di tiap pengkolan dan pangkalan ojek sesekali mereka fokus membahas bak pembawa acara dunia dalam berita.
Seperti janji pemerintah yang diwakili Bapak Wakil Presiden RI pada saat demo 411, bahwa tindakan hukum akan dilaksanakan dalam 2 minggu. Sekarang pemberkasan kasus tersebut sudah P21, bahkan sudah dilimpahkan ke Kejakaaan Agung dan siap disidangkan di pengadilan. Sampai di sini, bola penyelesaian dugaan penistaan agama telah masuk babak selanjutnya yaitu pengadilan sebagai ujung tombak atas penegaķkan hukum yang berkeadilan.
Bekerja sesuai fakta hukum. Tanpa menghilangkan kepentingan atas kasus-kasus yang lain, pengambilan keputusan hukum secara jernih, dengan mendasarkan atas fakta-fakta hukum yang ada bukan sekedar lumrah memijak pada mekanisme hukum bukan sekedar penting, tapi menjadi sesuatu yang mendesak, setidaknya karena beberapa kenyataan derivatif sebagai berikut:
Pertama, diakui atau tidak diakui, setujua atau tidak setuju, kasus sara (penistaan agama) yang menyangkakan Basuki Cahaya Purnama telah menyeret keberagamaan Indonesia masuk di fase yang sangat memprihatinkan. Tidak hanya rekatan relasi dan toleransi si pemeluk agama yang kian menjarak, antar pemeluk agama pun sensitifitasnya kian rentan. Bahkan, buih-buih keretakan sosial-patologis secara umum pun semakin mengarah dan menemukan bentuknya. Ihwal ini bisa diindikasikan dengan bela-kontra yang membabi buta dengan bahasa yang jauh dari norma dan agama baik lewat demontrasi maupun komentar-komentar di dunia maya. Para pemuka agama silang dan saling berbeda pendapat meyakini kebenaranya, dan lain sebagainya.
Kedua, dalam konteks Indonesia, kasus hukum berbasis sara dalam sejarahnya menyita energi kebangsaan yang riskan. Karena, batapapun Indonesia dibangun berdasarkan konstruksi pluralitas yang sudah sekian lama ada sebelum Indonesia merdeka. Itulah kenapa, faounding fathers sesegera mungkin bermufakat ketika ada sengketa isi di piagam Jakarta yang berkaitan dengan sara (agama). Penegakan hukum yang berkeadilan dengan melihat fakta dan pokok perkara yang sebenarnya akan mengurangi resiko sosial --dalam jangkauan akhir disintegrasi bangsa-- yang akan ditimbulkan. Pembiaran dan atau setidaknya penundaan keputusan hukum hanya akan membuka kerawanan seperti yang dikhawatirkan Thomas Hubbes akan adanya kecendrungan manusia berperang melawan sesamanya dalam rangka memenuhi kepentingnannya (Bellum Omnium Contra Omnes, Homo Homini Lupus).
(Baca juga: Hakim harus independen dan profesional )
(Baca juga: Kasus Ahok Adalah Ujian Berat Tapi Mulia Bagi Penegak Hukum Indonesia)