opini

Peran NU Dalam Kiprah Perpolitikan

Kamis, 1 Desember 2016 | 07:07 WIB
images_berita_Nov16_HERI-Peran

Sejarah yang berulang. Di tahun 1952, NU dipimpin K.H. Rais Aam, K.H. Wahab Hasbullah menyatakan keluar dari Partai Masyumi karena kecewa dengan politisi-politisi kaum modernis di partai tersebut, yang telah “merendahkan” ulama-ulama pesantren. Menurut politisi-politisi itu, kalangan pesantren tidak mengerti apa-apa tentang politik.

 

Kekecewaan NU tersebut ditambah dengan posisi Menteri Agama yang sejak awal menjadi jatah NU diberikan kepada kalangan lain. Padahal suara terbesar Masyumi berasal dari warga Nahdliyin. Tak mendapat menteri lain, menteri agama pun lepas. Sehingga kekecewaan NU makin mengkristal. NU akhirnya memilih jalan sendiri. Akibat keputusan itu, NU dituduh sebagai pemecah belah umat dan Mbah Wahab dituduh sebagai gila jabatan.

Namun, lihatlah pada pemilu 1955 suara Masyumi anjlok. NU menempati posisi ketiga di bawah PNI dan Masyumi. Posisi no 4 adalah PKI. Tak lama setelah itu, Masyumi dibubarkan oleh Sukarno karena beberapa tokohnya terlibat PRRI/Permesta. Bahkan hingga kini Masyumi tak pernah hidup lagi.

"Kontroversi" NU berlanjut. NU di bawah Mbah Wahab pada era Demokrasi Terpimpin bergabung dengan koalisi NASAKOM (Nasionalis diwakili PNI, Agama diwakili NU, dan komunis diwakili PKI) yang digagas oleh Sukarno. Lagi-lagi NU dicerca dan dicaci-maki. Bahkan, kiai-kiai NU disebut “kiai Nasakom”.

Ijtihad NU waktu itu adalah, keberadaan PKI di pemerintahan Sukarno harus dikawal supaya tidak mendominasi kebijakan Sukarno. Terbukti, setelah peristiwa G30S/PKI NU menjadi ormas paling depan yang mengganyang PKI dengan pimpinan tokoh muda NU, Subhan ZE.

Selanjutnya, di zaman kepeimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1984-1999), NU lebih kontroversial lagi. Saat peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, militer di bawah kendali LB Murdani menembaki umat Islam Tanjung Priok dan menimbulkan ratusan korban. Protes di mana-mana. Bahkan hampir mengarah pada kerusuhan nasional. Gus Dur justru membawa LB Murdani mengunjung pesantren-pesantren NU.

Gus Dur berpendapat, jika tidak diredam, maka korban dari umat Islam akan bertambah besar lagi. Waktu itu posisi Suharto sedang kuat-kuatnya. Berani melawan Suharto berarti mati. Tak pelak, Gus Dur mendapat hujatan dan cacian dari sana-sini, bahkan dari warga NU sendiri. Gus Dur dituduh telah murtad karena telah membela kafir Murdani.

Memahami sejarah perjalanan NU dalam menjaga keutuhan bangsa ini, maka tak usah heran jika NU selalu jadi sasaran hujatan, cercaan, dan fitnah. Tak usah kaget jika ulama-ulama NU dicaci-maki. Karena dalam setiap pengorbanan selalu ada caci-maki, hujatan, tidak populer, dan fitnah yang mengiringi. NU besar karena ia sudah teruji dengan berbagai macam cacian dalam menjaga keutuhan bangsa ini.

Jika hari ini NU dan ulama-ulamanya dihujat, dicaci maki, difitnah, dibully, ini hanya sejarah yang berulang. Jadi biarkan saja. Sebab, sebagaimana Gus Dur pernah mengatakan, "biarlah nanti sejarah yang akan membuktikan.

 

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB