Perilaku elit-elit politik kita makin hari makin memuakkan nurani saja, tanpa ada niatan mereka untuk berubah! Kita dapat menyaksikan bagaimana sesama mereka saling ”mebunuh” dan membuka aib sesama. Mereka terus berebut kue kekuasaan yang menggerus nurani dan akal sehat mereka. Demi kekuasaan yang sesaat, mereka rela mengebiri dan mengorbankan apa saja, termasuk hak rakyat kecil untuk hidup layak atas nama rakyat.
Sementara itu, perbaikan kehidupan rakyat ditelantarkan begitu saja. Rakyat dibiarkan miskin dan terlunta-lunta menanti nasibnya yang tak kunjung pasti. Kemakmuran dan kesejahteraan semakin menjauh dari relung kehidupan mereka. Kelaparan karena tak bisa membeli makan, putus sekolah kerana tak punya biaya, menjadi pengemis di jalan hanya demi sesuap nasi, menjadi pemandangan rutin yang tak sedap dipandang mata kita.
(Baca juga: Gerakan Pemuda Mati Suri 1)
Revolusi mati suri
Tanpa disadari kalau perilaku elit politik kita telah mengimbas dan memvirusi di dunia akademik-mahasiswa (aktifis pemuda). Tak sedikit dari mereka yang dulu (katanya) ”berjuang” atau “pejuang” reformasi 98 kini malah ikut-ikutan perilaku elit politik yang korup. Belum lagi para aktivis mahasiswa yang tergabung resmi di organisasi-organisasi intra dan ekstra kampusnya masing-masing “berjuang” hanya untuk menjadi anggota dewan yang terhormat.
Iniah realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Mengutip M. Yudhie Haryono, gagasan dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, kharismanya melarut dan daya revolusinya mati muda dan mati suri.
Kini, di tengah demoralisasi dan mediokrasi yang dalam atas situasi kehidupan kebangsaan kita, para elit politik mulai dari eksekutif, legeslatif sampai yudikatif (yang di dalamnya juga terdapat orang-orang muda) seharusnya mau belajar lagi sikap idealisme. Mengapa? Sebab, banyak orang terutama elit politik memiliki kecenderungan untuk mengambil jalan pintas! Paradigma hidup mereka sangat taktis-pragmatis sesaat dan jangka pendek semata. Mereka tidak memiliki pandangan jauh ke depan, dengan kata lain tidak visioner. Semua orang ingin cepat kaya tanpa harus kerja keras dan melalui cara yang benar. Berharap akan terjadi sebuah transformasi diri dari hidup yang miskin menjadi kaya dan sejahtera. Harapan akan transformasi diri pribadi inilah telah menanamkan sikap pragmatis dan mental korup dalam benak elit politik di negeri ini (yang di dalamnya juga banyak orang muda). Semangat serta etos kerja keras sudah tidak lagi jadi budaya bangsa. Justru, para elit pemangku jabatan publik ramai-ramai melakukan korupsi berjama’ah.
Akibatnya, sambil menunggu drama politik dan peruntungan antara rakyat dan penguasa, eksekutif dan legislatif, penambahan umur kita menyela untuk menandai semakin rentanya republik ini. Renta bagai zombi, tanpa gambaran bernas masa depan, hanya sedikit cercah harapan. Apa mau dikata, pemilu 2014 (konon terdemokratis) yang telah dilewati, kita memang kehadiran drama realis politisi bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama moral bersih berputar tanpa skenario baru. Sehingga, tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran tapi kalah telak di akhir perang, banyak di mana-mana tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih, kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda. Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru yang luka lamanya tak tersembuhkan!
Penulis adalah: Intelektual Muda NU; Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)
(Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan. Menulis beberapa buku diantaranya: “QUO VADIS NASIONALISME?, Merajut Kembali Nasionalisme Kita yang Terkoyak,” 2015, diterbitkan: LKSB & BSD MIPA, & “SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SALAH KELOLA! Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial,” 2012, diterbitkan: LTN PBNU).