Meskipun pemerintah wajib bersyukur dan berterimakasih pada kesadaran masyarakat dalam mengikuti program Tax Amnesty, tapi pemerintah harus ingat bahwa penerimaan uang tebusan pajak yang sudah mencapai Rp 97 T masih di bawah target yang sudah dianggarkan dalam APBN sebesar Rp 165 T. Artinya, baru mencapai 59 %.
Keprihatinan lain adalah kenyataan bahwa Dana repatriasi yang ditarget Rp 1000 T baru masuk Rp 130 T atau hanya 13%, padahal dana repatriasi inilah yang benar-benar akan membantu pertumbuhan ekonomi. Ibarat darah segar yang masuk ke perekonomian Indonesia.
Kurs rupiah terhadap dollar yang menguat menjadi di bawah Rp 13.000 àdalah karena masuknya dana repatriasi yang Rp 130 T itu. Yang juga menarik adalah nampaknya lebih banyak pengusaha atau WP kelas lokal (bukan WP kakap) yang ikut TA di WP besar yang semula diharapkan atau ditargetkan sebagai peserta utama TA. Indikasinya adalah rendahnya uang repatriasi yang masuk tadi dibandingkan dengan dana-dana milik orang Indonesia yang ada di luar negeri, yang diperkirakan Rp 11000 T.
Artinya, dari ratusan ribu pengusaha-pengusaha atau WP yang ikut TA, nampaknya lebih banyak didominasi oleh pengusaha menengah kecil. Kelompok ini kelihatannya lebih terpanggil kesadarannya atau nasionalismenya. Pemerintah juga tidak perlu membusungkan dada dengan membandingkan keberhasilan program TA Indonesia dengan TA di negara-negara lain, sebab ada 3 faktor yang membedakan yang harus diperhatikan sehingga perbandingan itu kurang relevan.
Pertama, perbedaan tax ratio di negara-negara TA. Semakin rendah tax rationya, semakin besar peluang suksesnya TA. Indonesia ini negara dengan tax ratio yang amat rendah (11%) sehingga logikanya TA akan lebih berpeluang sukses. Kenapa begitu? Sebab rendahnya tax ratio adalah indikasi banyaknya penggelapan pajak yang terjadi selama ini. Makanya ketika di Indo ada peluang TA, logikanya banyak yang memanfaatkannya seperti di Indonesia sekarang ini.
Kedua, rentang waktu dan scope TA di negara-negara itu berbeda dengan Indo, sehingga perbandingan menjadi kurang relevan.
Ketiga, PDB yang berbeda-beda. Indo adalah negara besar yang masuk G20 sehingga tidak tepat dibandingkan dengan negara yang berbeda PDB-nya. Tugas utama pemerintah sekarang ini adalah fokus pada pemulangan dana repatriasi dari Singapora yang masih banyak menghadapi kendala, dan nampaknya datang dari pihak Singapora.
Kendala-kendala tersebut antara lain mempersulit pencairan dan pemulangan dana ke Indonesia serta melaporkan peserta TA ke kepolisian Singapora. Jelas Singapora khawatir bila dana per-bankan-nya kesedot ke Indo. Pengusaha-pengusaha ini kini mengeluh atas perlakuan Singapora yang kurang bersahabat terhadap pengusahap-pengusaha Indo peserta TA yang ingin menarik dananya ke Indonesia.
Pemerintah juga perlu menasihati pengusaha-pengusaha itu agar lebih insaf dan sadar bahwa sebagai pengusaha WNI yang mendapatkan rezekinya dan kaya dari Indonesia, untuk menyimpan dananya juga di Indonesia, tidak lagi di luar negeri. Apalagi telah banyak fasilitas pajak dan lain-lain yang diberikan negara kepada para pengusaha Indonesia ini. Pemerintah kini sedang perlu dana besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga pengusaha besar perlu berpartisipasi.
Kini sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi total perpajakan di Indonesia, antara lain mengubah Ditjen Pajak menjadi sebuah BADAN tersendiri di bawah Presiden. Scope dan tanggung jawab pajak sudah terlalu besar untuk sebuah Ditjen. Apabila sudah jadi BADAN tersendiri, maka Kemenkeu mungkin juga sudah tidak memerlukan wakil menteri. Dengan BADAN tersendiri diharapkan tax ratio Indonesia akan dapat dinaikkan dan kita semakin mandiri dalam pembiayaan APBN.