opini

Perang Identitas Ekonomi-Politik di Pilkada DKI Jakarta Bagian 1

Kamis, 29 September 2016 | 02:50 WIB
images_berita_Sep16_1-ZAKY-Opini

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta menjadi ajang pertarungan calon gubernur (cagub) paling panas dan menghebohkan saat ini. Para pimpinan partai politik sampai turun tangan memilih, menyeleksi, dan bertarung dalam menentukan siapa wakil partainya yang akan menahkodai Jakarta untuk periode 2017-2022. Sebagai ibukota negara berpenduduk ke empat terbesar di dunia setelah Amerika, Jakarta menjadi magnet dunia dan barometer ekonomi dan politik nasional. Jakarta merupakan representasi seluruh masyarakat Indonesia dimana multikulturalisme dan keragamanan suku, ras, agama, dan budaya berakulturasi, termasuk berbagai ras di dunia ada di Jakarta.

 

Menurut sejarah Nusantara, agama Islam yang menjadi keyakinan mayoritas penduduk pribumi dibawa oleh para saudagar Arab pada abad ke tujuh Masehi setelah sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha yang dipengaruhi oleh India di abad pertama Masehi. Gelombang kedatangan orang India dan Arab ke Nusantara menjadi titik awal tumbuhnya populasi keturunan mereka di Indonesia hingga saat ini, termasuk imigrasi besar ras Mongoloid-Tiongkok. Pada era kolonial, para pedagang Tionghoa bersama Arab dan India memegang peranan besar dalam perdagangan Nusantara, khususnya di Batavia. Awalnya, orang Cina datang dan menetap di Nusantara sebagai buruh dan pekerja yang dibawa oleh VOC dan Inggris, kemudian Belanda mengangkat kelas sosial orang Cina setara dengan orang India dan Arab sebagai perantara dagang Belanda dengan pribumi.

Sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, Jakarta menjadi pilihan pemukiman bagi para imigran untuk meningkatkan taraf hidup. Populasi terbanyak diduduki oleh etnis keturunan Cina, diikuti Arab dan India. Etnis Cina dan Arab bahkan memiliki perkampungan sendiri di Jakarta. Kawasan pemukiman warga etnis Cina disebut pecinan. Etnis Cina menempati wilayah yang dipercaya sebagai jalur naga mulai dari Kelapa Gading, Sunter, Keramat Luar Batang, dan Pluit di Jakarta Utara, sampai di Glodok, dan Jakarta Kota di Jakarta Barat. Etnis Arab punya kampung sendiri di Condet Jakarta Timur dan etnis India banyak bermukim di rumah susun Bandar Kemayoran Jakarta Pusat.

Lantaran banyaknya warga etnis Cina dan Arab di Jakarta, bukan tidak mungkin menjadi kekuatan primordial bagi cagub DKI Jakarta Ahok dan Anis Baswedan. Identitas Ahok sebagai cagub keturunan Cina akan mendapatkan dukungan dari warga Jakarta etnis Cina, begitu pula dengan Anis Baswedan yang merupakan keturunan Arab sudah pasti akan didukung oleh mayoritas warga Condet, selain masing-masing memiliki basis dukungan pemilih beridentitas rasional. Sementara Agus Yudhoyono hanya berpotensi mendapatkan dukungan dari pemilih rasional. 

Latar belakang identitas yang berbeda dari ketiga cagub, memberikan gambaran polarisasi dukungan dan kekuatan finansial yang berbeda. Ahok pasti akan didukung oleh para pengusaha atau taipan Cina yang hampir menguasai perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta. Etnis Arab, sebenarnya tidak memiliki riwayat solidaritas seperti etnis Cina, sehingga dukungan finansial dari Arab lokal tidak begitu meyakinkan, tetapi faktor PKS sebagai partai pengusung akan menjadi perantara donasi Arab untuk Anis Baswedan karena PKS memiliki kedekatan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Gerakan Tarbiyah atau Ikhwanul Muslimin di berbagai negara Timur Tengah. Sementara Agus Yudhoyono merupakan putra mantan presiden SBY yang diketahui memiliki hubungan baik dengan Amerika. Oleh karena itu, Pilkada DKI Jakarta akan menjadi ajang pertarungan identitas yang memiliki kekuatan besar di belakangnya, Tiongkok – Timur Tengah – Amerika Serikat. 

Secara politik, identitas itu mungkin tidak akan ditunjukkan di permukaan oleh para cagub karena tidak menguntungkan dan sangat sensitif. Ada cagub yang menegaskan bahwa pertarungan Pilkada adalah pertarungan program, bukan kampanye perbedaan identitas. Namun, sebenarnya identitas itu eksis, menguat, dan berpotensi terus dikonstruksi untuk mendapatkan keuntungan lain, misalnya dukungan finansial. Identitas tersebut tidak begitu saja hadir, tetapi melaui proses panjang yang memungkinkan untuk diidentifikasi dan identitas itu selalu dalam proses pembentukan. Identitas itu terbentuk melalui artikulasi dan pilihan posisi cagub-cawagub, termasuk penetrasi modal dan juga dominasi struktural partai pengusung.

Identitas yang terbentuk dari pola primordial tersebut secara historis sudah lama menjadi solidaritas kolektif yang saling berlawanan. Identitas kolektif akan menjelaskan bagaimana suatu kelompok menciptakan, memperkenalkan, dan mempertahankan identitas kelompoknya sebagai sebuah hal yang prestise untuk melawan kelompok lainnya. Pertarungan panjang terjadi antara Amerika dengan Cina yang merupakan perseteruan ideologi kapitalisme dengan komunisme yang berujung pada sentimen identitas. Berbagai kerusuhan anti Cina di Indonesia merupakan kulminasi dari ketidaksukaan Amerika dan negara-negara Eropa dengan komunis Cina melalui tangan penduduk setempat. 

Kerusuhan anti Cina pernah terjadi di Batavia tahun 1740 yang dikenal sebagai Geger Pacinan atau Tragedi Angke yang menelan korban lebih dari 10.000 orang Cina. Peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung yang merembet ke berbagai kota di Jawa Barat, tahun 1972 di Pekalongan, tahun 1973 di Jakarta, Palu dan Bandung, peristiwa Malari tahun 1974, tahun 1980 di Ujung Pandang, Solo dan Medan, tahun 1995 di pekalongan, Kerusuahan sepanjang tahun 1997 hingga tahun 1998 di berbagai tempat yang berujung pada kerusuhan Mei 1998. 

Dari semua etnis yang pernah ada di Indonesia, etnis Cina paling sering menjadi korban kemarahan pribumi. Hal itu terjadi karena sentimen identitas diciptakan oleh Belanda dengan membuat undang-undang kependudukan yang memposisikan warga pribumi sebagai inlander, atau warga negara kelas rendah, sementara Cina menduduki kelas atas dan mendapatkan akses ekonomi yang tidak diberikan kepada penduduk pribumi. Perlakuan diskriminatif tersebut membuat masyarakat pribumi memendam kemarahan terhadap etnis Cina, sehingga kapan pun bisa disulut oleh pihak luar seperti Amerika yang memang tidak suka dengan Cina menjadi kerusuhan rasial.

(Baca juga: Perang Identitas Ekonomi-Politik di Pilkada DKI Jakarta 2)

 

*Penulis adalah Antropolog Universitas Indonesia dan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DKI Jakarta Periode 2014-2016

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB