opini

Demokrasi, Kesejahteraan, Utang, dan Pasar Bebas 2

Sabtu, 3 September 2016 | 14:39 WIB
images_berita_Ags16_1-PASAR-BEBAS

Pasar bebas telah menang! Demikianlah klaim teoritis ekonomi mutakhir. Apa buktinya? Pasar bebas telah menyentuh seluruh tata kelola masyarakat. Dalam kehidupan ekonomi, pasar bebas telah membentuk budaya sehingga kita dapat menjual produk ke setiap negara.

Persoalannya, di tengah persaingan yang demikian ketat, bagaimana kita dapat memenangkan dan berjalan beriringan dengan bangsa lain dalam usaha yang sehat dan tidak timpang? Apalagi kebijakan negara kita masih mengikuti pasar bebas yang diatur kapitalisme global, kebijakan yang membuat Indonesia terjebak dalam utang berkepanjangan. Tentu saja sebagai negara agraris yang lama dijajah, kita memerlukan strategi jitu sekaligus fokus. Hal ini karena tingkat kompetensi kita belum merata. Kita baru mempunyai keunggulan komparatif, belum kompetitif.

 

(Baca juga: Demokrasi, Kesejahteraan, Utang, dan Pasar Bebas 1)

Secara sederhana, basis keunggulan komparatif ini harus diproteksi agar mampu menjadi keunggulan kompetitif. Terutama sekali kita harus melindungi sumber-sumber ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, penjualan sumber-sumber ekonomi Indonesia ke luar negeri semestinya diperhitungkan secara matang dan saham-saham industri strategis tidak dijual murah.

Industri strategis semacam listrik, telekomunikasi, air, penerbangan, yang dikategorikan sebagai industri strategis semestinya dikuasai nasional, bukan negara luar. Sedangkan industri pangan yang meliputi pupuk, beras, ikan, hutan juga harus direvitalisasi agar lebih mampu menjadi "lumbung" bagi kebutuhan rakyatnya.

Negara-negara di Eropa saja melindungi produksi pertaniannya sedemikian rupa. Bahkan Amerika Serikat telah mengalokasikan subsidi sampai 80% untuk sektor pertaniannya. Singkatnya, proteksi bukan barang haram dalam perekonomian suatu bangsa.

Menaklukkan Pasar Bebas.

Untuk menaklukkan pasar dunia, ada tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, mengambil pasar di negara lain. Kedua, mengambil energi di negara yang kaya sumber daya alamnya. Ketiga, menaruh posisi tawar yang tepat untuk menyebarkan pengaruh politik dalam rangka melanggengkan pasar yang telah dikuasainya. Dengan taktik ini, negara-negara maju memiliki produk yang [dianggap] sangat bersaing. Mereka juga tidak mau membeli produk negara berkembang karena harganya mahal. Sebaliknya, rakyat di negara berkembang hanya dijadikan konsumen.

Konsep yang jelas mengenai perekonomian nasional tanpa harus menjadi korban dari pasar bebas sangatlah penting bila Indonesia tidak ingin terus-menerus dijajah dan dijarah. Kebebasan memang menjadi kondisi nyata dalam pasar bebas, tapi tentunya kita harus bisa menyiasati persaingan supaya orang asing tidak mampu menghisap kekayaan negeri ini.

Perlu ada pencanangan nasionalisasi aset dengan cara mengelola perusahaan berstatus BUMN tetap dikuasai kapital nasional. Perlu ada langkah nyata agar aset-aset strategis kembali dimiliki oleh bangsa sendiri. Sebab, industri semacam itu bukan berorientasi pada memaksimalkan profit, melainkan meningkatkan pelayanan publik. Artinya, rakyat harus jadi subyek utama.

 

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB