Saat kampanye Pemilihan Presiden yang lalu, Joko Widodo (Jokowi) banyak mengumbar janji kepada rakyat yang hadir dalam kampanyenya. Janji-janii itu diucapkan oleh Jokowi, baik ketika “kampanye” blusukan ke mana- mana, maupun saat kampanye formal di atas panggung. Pada saat kampanye, ada juga janji berbentuk “kontrak” yang ditandatanganani sendiri oleh Jokowi sebagai sebuah keseriusan untuk ditepati oleh Jokowi.
Salah satu “kontrak” tersebut adalah Piagam Perjuangan Ki Hajar Dewantara yang merupakan piagam perjuangan guru honorer. Piagam tersebut disodorkan oleh para guru honorer kepada Jokowi yang saat itu sebagai calon presiden, lalu Jokowi membubuhkan tanda tanggannya di atas meterai Rp 6.000,00 pada piagam tersebut. Isi piagam tertanggal 5 Juli 2014 tersebut bisa disebut janji manis kepada guru honorer sebab Jokowi menjanjikan akan mengangkat mereka menjadi PNS (Pegawai negeri sipil) jika terpilih menjadi Presiden RI.
Tetapi, setelah tahun kedua Jokowi berkuasa, janji kepada guru honorer tersebut belum dapat direalisasikan. Bahkan, ada kemungkinan sudah dilupakan oleh Presiden sebab janji kampanye dianggap bukan sumpah jabatan yang harus dipatuhi, ditaati, dan dilaksanakan. Janji kampanye calon presiden seperti “gincu merah murahan” yang terlihat manis, tapi cepat luntur. Malahan, janji kampanye tidak mengikat atau memaksa yang berjanji agar merealisasikannya ketika sudah menjadi orang yang sangat berkuasa di negeri ini. Sebab itu, rakyat harus segera melupakan janji kampanye calon presiden ketika yang bersangkutan sudah menjadi presiden.
Saat masih sebagai calon presiden, sebuah janji ibarat “nyanyian merdu” yang membuat pendengar terhanyut mendengarkan lagu itu, padahal sebatas untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, tidak lebih dari itu. Ketika sudah terpilih sebagai seorang presiden, semua janji kampanye harus dilupakan, baik yang sudah dinyanyikan di atas panggung maupun dalam bentuk kontrak. Dan, apabila itu sudah terjadi, siapapun tidak bisa menagih janji tersebut. Tinggallah kita yang berharap agar Jokowi tergerak hatinya untuk menepatinya. Dalam konteks inilah, bisa kita pahami mengapa kontrak Jokowi dengan guru honorer sangat sulit terealisasi.
“Keengganan” Jokowi mengangkat guru honorer menjadi PNS pada tahun ini tampaknya “diamini” oleh Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal ini berdasarkan pada Surat Edaran Men PAN dan RB kepada pejabat pembina kepegawaian pusat dan daerah bahwa tidak ada jadwal penerimaan CPNS (calon pegawai Negeri sipil) pada tahun 2016. Semestinya, sebagai pembantu presiden, Yuddy Chrisnandi jangan pura pura ikut lupa terhadap kontrak Jokowi dengan guru honorer tersebut. Seyogianya, Yuddy Chrisnandi mengingatkan sang Presiden tentang kontrak tersebut. Sayangnya, malahan Menteri Yuddy ini menunjukkan sikap yang “sok-sok” tegas, dan ingin disanjung sebagai orang berwibawa.
Dari sisi penganggaran, lupa akan janji untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS, baik oleh Presiden Jokowi maupun oleh Menteri Yuddy Chrisnandi, bisa dipandang sebagai sebuah kewajaran. Hal itu disebabkan bahwa Pemerintah belum mempunyai anggaran untuk pengangkatan guru honorer tersebut. Fiskal anggaran masih terbatas. Pemerintah belum punya dana yang cukup atau belum punya duit untuk membiayai belanja pegawai yang semakin bengkak dan meningkat terus.
Hitung-hitungannya dari sisi anggaran dapat dijelaskan sebagai berikut. Sesuai dengan data yang dimiliki oleh PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), jumlah guru honorer sekitar 1,7 juta orang. Bila Presiden Jokowi mengangkat Guru honorer menjadi PNS, maka yang harus disediakan APBN atau anggaran negara untuk membayar gaji pokok saja sebesar Rp 4,1 triliun untuk setiap tahun. Bila asumsinya, rata rata gaji honorer yang baru diangkat sekitar Rp 2,4 juta untuk golongan IIIA. Ini baru gambaran gaji pokok yang minimal.
Selain gaji pokok, Pemerintah juga biasanya harus menyiapkan kenaikan gaji guru untuk setiap tahun. Rata rata kenaikan gaji pokok untuk setiap tahun antara 7 – 10 persen. Selain itu, Pemerintah juga harus menyediakan dana tunjangan profesi Guru yang akan diberikan kepada guru yang sudah punya sertifikat, dan nilainya sebesar satu kali gaji pokok.
Jika melihat perbandingan dari tunjangan profesi guru bagi guru yang sudah PNS pada tahun 2016 saja, APBN bisa terkuras sampai sebesar Rp 71 triliun. Pada tahun 2015, dana yang terpakai hanya sebesar Rp 70,2 triliun atau ada kenaikan sebesar 1,1 persen dari tahun 2015 ke 2016. Dengan demikian, dengan penambahan guru honorer sekitar 1,7 juta menjadi PNS, maka akan bisa dibayangkan bahwa APBN akan habis hanya untuk belanja pegawai seperti untuk alokasi gaji pokok dan tunjangan profesi guru, bukan untuk anggaran pembangunan.
Terlihat pembiayaan untuk anggaran belanja pegawai ini sangat mahal. Barangkali sebab sangat mahal inilah yang membuat bingung Presiden Jokowi, antara menempati janji kepada guru honorer atau menguras APBN hanya untuk gaji pegawai yang semakin tinggi dengan mengorbankan anggaran dari sektor pelayanan publik lainnya.
Sepertinya, Presiden Jokowi akan tetap “ngotot” untuk tetap melupakan janji manisnya mengangkat guru honorer menjadi PNS. Untuk itu, untuk melawan lupanya Presiden Jokowi, atau meluluhkan kebijakan anti guru honorer ini, maka guru honorer harus kompak dan terus menerus melakukan demontrasi di depan Istana Presiden hingga kebijakan pemerintah untuk pengangakatan guru honorer berubah.
Selain itu, dari kasus guru honorer ini, ada hikmah yang bisa diambil oleh para calon pemimpin, baik yang ingin menjadi presiden, gubernur, bupati maupun walikota, agar jangan gampang mengumbar janji kepada rakyat hanya sekadar untuk menaikkan popularitasnya saja, apalagi membuahkan tanda tangan di atas kkontrak, tanpa melihat kemampuan kapasitas keuangan negara atau daerah, sehingga pada akhirnya akan menabrak aturan main dengan seenaknya saja. Seorang calon pemimpin itu harus cerdas, harus paham regulasi atau aturan main. Selamat berjuanga, para guru honorer!
Uchok Sky Khadafi
Direktur Center For Budget Analysis (CBA)