Klikanggaran.com (20/9/2017) - Skandal korupsi yang melibatkan Setya Novanto selaku Ketua DPR RI dalam proyek pengadaan e-KTP, hingga kasus korupsi kepala daerah yang banyak ditangkap tangan oleh KPK, menimbulkan pertanyaan di beberapa kalangan. Pertanyaan publik bermunculan terkait kinerja Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri.
Tjahjo Kumolo sendiri memberikan catatan Pedoman Kinerja Kemendagri 2017, bahwa dalam rangka penajaman prioritas program, masing-masing Ditjen dan Badan saling bersinergi dalam memastikan pelaksanaan program yang tepat waktu sebagai tolok ukur kinerja program di Kementerian Dalam Negeri.
Di samping itu, Tjahjo menginginkan setiap program tersebut hendaknya memberikan hasil. Tentunya tidak hanya semata-mata mengejar penyerapan. Hasil yang dimaksud yakni seperti adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), meningkatnya pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya pertumbuhan di daerah-daerah.
Namun, tolok ukur itu tidak sejalan dengan pencatatan. Sebut saja program e-KTP, yang menjadi program Kemendagri. Mestinya Kemendagri bertanggung jawab atas program kartu tanda penduduk berbasis komputerisasi tersebut, hingga dapat diakses dan dimiliki masyarakat.
Karena setelah e-KTP diberlakukan, maka yang perlu dipahami bukanlah kebutuhan politik saja, bahwa e-KTP tidak hanya merupakan data tunggal dalam hal Pilkada, Pemilu Legislatif, atau Pemilu Presiden, melainkan e-ktp pun menjadi basis data dalam segala aspek lingkungan, seperti lingkungan kerja, pendaftaran CPNS, atau dalam dunia perbankan. Apalagi, dalam trend transaksi online pun e-KTP menjadi perlu, guna menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.
Selepas Tjahjo mengungkapkan bahwa masih ada sekitar 9 juta penduduk yang belum memiliki e-KTP pada hari Senin (18/9/2017) kemarin, hal ini menunjukkan bahwa Mendagri tidak bekerja apa pun terkait pengadaan e-KTP. Karena akhir tahun 2016 lalu, pada Kamis 27/10, Tjahjo menyebutkan jumlah yang sama terkait jumlah penduduk yang belum memiliki e-KTP.
Berarti, selama 1 tahun, dari tahun 2016 hingga 2017, penduduk yang belum memiliki e-KTP masih tidak berubah, yaitu berjumlah sekitar 9 Juta. Artinya, terlepas dari kasus korupsi dalam hal e-KTP, kewajiban Mendagri memproses e-KTP agar dapat dimiliki setiap penduduk merupakan keniscayaan. Sehingga, Mendagri harus tetap bekerja untuk memproses dengan segera perihal produksi kartu penduduk berbasis komputerisasi tersebut.
Belum lagi soal birokrasi pengadaan e-KTP yang begitu panjang hingga pengadaan e-KTP yang berkelit ini menjadi alat “dagangan” sebagian pihak. Hal ini berdasarkan pada banyaknya oknum yang meminta uang agar kartu itu segera bisa dicetak, sehingga muncul indikasi korupsi tingkat daerah.
Dengan semboyan Kabinet Kerja, Tjahjo memahami betul mengenai kinerja mana yang harus diprioritaskan secara berkesinambungan. Juga memilah, mana yang merupakan program mendagri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara mendasar, mana yang kebutuhan politik. Sehingga, Tjahjo tidak lagi menyalahkan Direktorat maupun Inspektorat dalam masalah korupsi yang terjadi di daerah, melainkan menghidupkan kembali kerja “blusukan” hingga ke daerah-daerah.
Dengan banyaknya persoalan mengenai urusan masyarakat dalam negeri, hingga maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, menunjukkan kinerja yang minim dalam Kabinet Kerja yang dicanangkan oleh pemerintah yang berlandaskan pada Pedoman Kinerja Kemendagri 2017. Semboyan Kabinet Kerja menjadi kontra produktif bila kinerja pemerintah menimbulkan banyak masalah, bahkan hingga menimbulkan perkara-perkara hukum.
Demikian disampaikan oleh Adri Zulpianto, S.H., Koordinator Kajian dan Riset, Lembaga Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik (KAKI PUBLIK), pada Klikanggaran.com di Jakarta, Rabu (20/9/2017).