opini

Listrik Tak Lagi Dikuasai Negara, Tapi Dibajak Komplotan Neo-Koruptor?

Rabu, 29 November 2017 | 07:25 WIB
images_berita_Nov17_Listrik

Sementara kepentingan bangsa, negara dan rakyat dalam ketenagalistrikan diabaikan atau hanya bersifat sekunder, bahkan tersier atau tidak pernah menjadi dasar utama dari seluruh kebijakan, program dan proyek yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi JK.

Apa buktinya? Pemerintahan Jokowi-JK mengundang investasi swasta secara besar besaran untuk melakukan bisnis ketenagalistrikan di Indonesia. Pemerintah merancang proyek 35 ribu megawatt untuk menjadi ajang bisnis. Swasta dipersilahkan membangun pembangkit listrik.

Seluruh listrik yang dihasilkan oleh swasta mendapatkan jaminan untuk dibeli oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan Pemerintah menjamin melalui kontrak untuk membeli litrik swasta dalam jangka panjang. Pemerintah bahkan menjamin membeli kelebihan produksi listrik yang dihasilkan oleh swasta.

Untuk mendapatkan uang, PLN negara dipaksa untuk megambil utang sebesar besarnya dari perbankkan nasional, lembaga keuangan internasional dan global bond.

Utang tersebut selain untuk membeli listrik swasta, juga untuk membangun pembangkit PLN sendiri dengan biaya super mahal. Pebangunan pembangkit PLN ini dilakukan oleh pihak swasta dengan skema EPC yang sangat menguntungkan swasta.

Lebih gila lagi, pembangkit listrik PLN yang sebagian besar merupakan pembangkit bekas dari China yang berbahan bakar batubara menjadi proyek bancakan gila gilaan pihak swasta. Para pebisnis bahan bakar terutama perusahaan batubara swasta dan perusahaan asing adalah pihak yang mengambil untung besar selanjutnya dari bisnis listrik ini. pihak internal PLN pernah mengatakan bahwa bisnis listrik sejatinya adalah bisnis bahan bakar, khususnya batubara.

Dampak Mega Projek Listrik terhada Rakyat?

Mega proyek listrik super mahal, yang dikendalikan swasta, pedagang bahan bakar khususnya batubara dan para rentenir/tengkulak pemberi utang, telah menyebabkan penyediaan listrik di indonesia menjadi sangat mahal.

Bisnis listrik telah menciptakan keuangtungan berlipatganda bagi bagi pengusaha swasta dan para rentenir/tengkulak , namun membangkrutkan negara.

Sementara pemerintah Jokowi-JK melepaskan tanggung jawab mereka untuk menjamin ketersediaan listrik pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemerintahan Jokowi – JK mencabut subsidi listrik tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.

Sejak berkuasa pada tahun 2014 lalu Pemerintah Jokowi – JK telah mencabut lebih separuh subsidi listrik yang diberikan pemerintahan sebelumnya. Sekarang ini hanya 25% konsumen yang masih disubsidi oleh pemerintah.

Seluruh biaya untuk memperkaya swasta dikonversi ke dalam tarif listrik yang dijual oleh pemerintah kepada rakyat. Akibatnya Tarif  Dasar Listrik  (TDL) di Indonesia menjadi sangat mahal. Tarif listrik di negara ini lebih mahal dibandingkan dengan tarif yang berlaku di India, China bahkan di Amerika serikat.

Sementara pada saat yang sama Indonesia harus bersaing dengan China dan India melalui perdagangan bebas ASEAN plus 6 dan dengan Amrika Serikat melalui Trans Pacifik Parnership (TPP).

Akibat kenaikan tarif secara terus menerus daya beli masyarakat jatuh, industri nasional gulung tikar. Kenaikan tarif didasarkan pada inflasi, depresiasi mata uang rupiah terhadap US Dolar dan kenaikan harga bahan bakar.

Sementara ketiga faktor itu menjadi penyebab daya beli masyarakat semakin jatuh. Ini adalah kebijakan yang sangat tidak masuk akal sehat dan tidak dilakukan oleh negara manapun di dunia. Ini hanya dilakukan oleh sebuah negara yang pemerintahannya dikuasai oleh para pebisnis listrik yang korup dan serakah.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB