Oleh: Pranata Humas Diskominfo-SP Luwu Utara, Lukman Hamarong
KLIKANGGARAN : Tiga tahun lebih dunia diporak-porandakan oleh makhluk kecil tak kasat mata, tetapi mampu membuat dunia kelimpungan di berbagai sektor kehidupan. Belahan bumi mana pun, termasuk Indonesia, sangat merasakan dampak dahsyat makhluk kecil yang kemudian dikenal sebagai Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Di mana virus ini muncul pada akhir Desember 2019 di kota Wuhan, Cina, yang kemudian menjalar ke seluruh negeri, dan mewabah.
Kurang lebih tiga tahun lamanya manusia dipaksa bertahan hidup. Lengah dan memandang enteng COVID-19, maka taruhannya adalah nyawa melayang. Ratusan ribu manusia, baik yang terkonfirmasi positif, suspek maupun yang terduga mengalami gejala klinis, akhirnya meregang nyawa di tengah ganasnya wabah COVID-19. Kengerian pun makin tercipta ketika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional. Menyusul makin meningkatnya kasus COVID-19 yang pertama kali diumumkan pada 2 Maret 2020.
Penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional ini dituangkan ke dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional. Sejak terbitnya Keppres ini, pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang diikuti pembentukan Satgas COVID-19 di masing-masing daerah, karena virus mematikan ini terus bermutasi.
Penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional tentu didasari oleh dampak yang ditimbulkan. Dari sisi kesehatan, betapa mengerikannya virus ini bekerja saat menjangkiti manusia. Meski banyak yang sembuh, namun tak sedikit manusia harus berakhir dengan tragis, alias meninggal dunia. Dari sisi lain, sejak pandemi melanda, sendi-sendi ekonomi mengalami pelemahan yang berujung melambatnya pertumbuhan ekonomi, bahkan mengalami kontraksi hebat.
Tatanan kehidupan menjadi kolaps. Pegawai dan karyawan harus membiasakan diri bekerja dari rumah (work from home), anak-anak sekolah dipaksa belajar secara daring. Bahkan di awal pandemi, sekolah terpaksa diliburkan. Rumah-rumah ibadah ditutup sementara, dan terpaksa umat manusia memindahkan kegiatan ibadahnya di rumah masing-masing, sebelum akhirnya pemerintah mengeluarkan aturan protokol kesehatan sebagai benteng terakhir.
Setiap hari masyarakat cemas menunggu informasi terbaru Satgas COVID-19. Siapa terpapar, berapa meninggal, dan berapa yang sembuh. Masyarakat terkungkung dalam situasi yang menakutkan. Orang-orang saling menyalahkan, yang seharusnya saling menguatkan. Seluruh pemberitaan dari berbagai media, baik cetak, daring maupun elektronik, dimonopoli oleh berita seputar COVID-19. “Hegemoni” COVID-19 betul-betul menguasai manusia dan dunia.
Bunyi sirine ambulans yang hampir setiap hari mampir di telinga masyarakat, makin menambah kekalutan dan ketakutan. Pakaian medis tenaga kesehatan lengkap dengan alat pelindung diri acap kali kita jumpai saat Tim Satgas COVID-19 melakukan gerakan 3T, yaitu tracing, testing and treatment, yang disertai dengan sosialisasi masif gerakan 5M, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan serta membatasi mobilisasi massa.
Sungguh situasi yang begitu sulit dan amat mengerikan di awal pandemi COVID-19 melanda, sampai medio 2020 yang lalu. Inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana Nasional, karena dampaknya tak kalah dahsyat dari bencana alam itu sendiri. Namun, yang namanya wabah, tentu sifatnya sementara, tergantung bagaimana manusia disiplin menerapkan protokol kesehatan, hingga pandemi selesai.
Kita flashback kembali kejadian di Spanyol saat negeri Matador itu dilanda wabah virus influenza A subtipe H1N1 yang sangat mematikan pada Februari 1918 hingga April…