KLIKANGGARAN --K-Pop selama ini dikenal sebagai fenomena musik global yang digemari lintas negara dan generasi. Namun, pengaruhnya tidak berhenti pada lagu, koreografi, atau visual para idol.
Di kalangan para penggemar K-Pop juga membentuk cara berbahasa yang tidak biasa, para penggembar biasanya menggunakan istilah seperti bias, bias wrecker, comeback, fanchant, hingga maknae kini tidak hanya digunakan di ruang fandom tetapi juga meresap ke dalam percakapan sehari-hari, terutama di media sosial.
Fenomena ini menarik dilihat dari segi sosiolinguistiknya, karena bahasa tidak pernah berdiri sendiri. Bahasa selalu berkaitan dengan konteks sosial, identitas penutur, serta relasi antar kelompok.
Dalam dunia K-Pop penggunaan istilah-istilah khas menjadi penanda keanggotan sosial. Seseorang yang memahami dan menggunakan istilah tersebut akan lebih mudah diterima sebagai bagian dari komunitas fandom. Sebaliknya, mereka yang tidak memahaminya sering kali diposisikan sebagai “orang luar”.
Berbahasa dalam budaya K-Pop juga ditandai dengan alih kode dan campur kode . Bahasa Korea, Inggris, dan bahasa Indonesia digunakan secara bersamaan sesuai konteks.
Kata-kata seperti oppa, unnie, atau daebak digunakan berdampingan dengan istilah Inggris dan Indonesia secara bersamaan tanpa dianggap janggal, hal ini menunjukan bagaimana globalisasi budaya memengaruhi praktik linguistik generasi muda.
Selain sebagai penanda identitas, bahasa dalam dunia K-Pop sering dikaitkan dengan kekuasaan simbolik yang dimana agensi memiliki peran besar dalam membentuk istilah-istilah yang kemudian dianggap wajar dan lazim untuk digunakan.
konsep seperti debut dan comback membentuk para penggemar memahami perjalanan karir idol, kemudian bahasa industri ini direproduksi kembali oleh fandom sehingga menjadi bagian dari cara berpikir kolektif.
Di sisi lain, penggemar K-Pop membuat singkatan, istilah internal, dan humor khas fandom. Hal ini memperkuat solidaritas tetapi juga dapat menciptakan batas ekslusif antara mereka yang memahami dan tidak memahami bahasa tersebut.
Meski kerap menuai keritik karna dianggap mengancam bahasa indonesia, dari sudut sosiolinguistik ini justru menunjukan proses adaptasi berbahasa. K-Pop tidak hanya membentuk selera musik, tetapi juga praktik berbahasa yang merefleksikan identitas dan posisi sosial generasi muda ditengah arus budaya global.
Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Bielqies Ayu Nahdya (Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Pamulang)