Klikanggaran.com - Dalam banyak penelitian, para ahli mengungkap bahwa memori manusia lebih mudah merekam sesuatu yang membuat mereka jeri daripada bahagia. Peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan dukacita bertahan lebih lama, bahkan sulit hilang jika terus-menerus dibiarkan dan tidak mendapat penanganan.
Beberapa individu mungkin tidak sadar dirinya telah dipenuhi dukacita. Dari luar, ia tampak biasa saja menjalani hari-hari, tetapi segalanya tergambar dari keputusan-keputusan yang ia pilih. Kebanyakan, jalan yang terpilih diputuskan berdasarkan ego dan kemanjaan. Berharap mendatangkan keuntungan dengan segera, tetapi lalai memikirkan efeknya bagi sekitar. Ini yang terjadi pada sebagian besar manusia. Bahwa, penduduk bumi ini tenggelam dalam dukacita, itu benar. Hanya saja, sebagian lainnya berusaha menggapai permukaan agar tidak berakhir sia-sia.
Cara itu tidak dipilih Mapanji Garasakan. Hasutan demi hasutan ia dengar, bahkan menjadi pemantik bagi keputusan-keputusan yang ia buat. Belum lagi, sejak kecil ia memang tidak pernah dididik dengan keprihatinan oleh Ibu Dyah Putri, salah satu selir Airlangga. Maka, ketika ada satu-dua kerabat istana yang membuatnya meradang, hati Mapanji segera diliputi dukacita. Ia tak segan melakukan penyerangan. Janggala kacau, bahkan terbelah dua sebab Samarotsaha juga tampaknya mulai menuntut haknya sebagai kerabat Wangsa Isana.
Baca Juga: Percepat Vaksinasi, Pemda Didorong Lakukan Terobosan Vaksinasi Bagi Masyarakat Rentan
Semua kacau, hanya karena banyak hati terluka meminta dimanja kembali. Terjadi pula dengan Sri Sanggramawijaya, Raja Putri, penguasa Janggala yang sah. Saking perihnya, ia akhirnya menuruti keinginan Ayahanda melakukan tapa brata sambil belajar ajaran dharma dari Guru Waktra—Si Rarung. Gandhakuti, dalam sima Pucangan, dipilih sebagai tempat menyepi dari segala keramaian seteru antara Mapanji Garasakan dan Raja Dharma Samarotsaha, tentunya sambil memikirkan segala hal agar perang saudara tidak tumpah.
“Jangan mendahului apa yang akan terjadi. Hanya biarkan kecemasan itu tak bekerja.” (halaman 315)
Kecemasan hadir dalam diri sebagai hasil dari ketidakpastian masa depan. Seseorang yang terlalu khawatir dirinya akan mendapat hal buruk di masa depan cenderung tidak bisa tenang menyikapi momen-momen yang datang. Khawatir tidak bisa lulus ujian, akhirnya materi yang nanti diujikan tidak terserap dengan baik. Khawatir tertinggal pesawat, membuat persiapan tidak mulus karena ternyata banyak hal yang terlupa sebab perencanaan tidak saksama. Khawatir produknya tidak laku di pasaran, lalu tidak sadar melepas energi negatif yang berujung menghalangi kehadiran orang-orang yang sejatinya membutuhkan barang itu.
Banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan dan membuktikan bahwa kecemasan memang harus disingkirkan. Namun, bukan berarti kita lepas tangan. Cemas memang harus hilang, tetapi kewaspadaan tetap pada tempatnya. Kewaspadaan yang membuat kita tetap menjejak bumi dengan segala rasionalitas dan kelogisan. Hanya saja, tidak banyak yang tahu bahwa membuang kecemasan sebenarnya mudah.
Baca Juga: Perlindungan Maksimal pada Masyarakat, Presiden Pastikan Vaksinasi Terus Bergulir
Inti dari hidup ini adalah napas. Jika bernapas dengan baik—tentunya juga dengan kualitas udara yang baik pula—maka kita mendapat tubuh segar serta otak yang dapat berpikir jernih. Tidak dimungkiri, kegiatan bernapas sering kali terabaikan. Bisa jadi karena mekanisme tubuh kita masih bagus sehingga tanpa terasa udara bisa masuk memenuhi paru-paru. Namun, jika udara—dalam hal ini tentu saja oksigen—tidak dirasakan oleh pikiran dan tubuh, keberadaannya menjadi tidak bermakna. Oksigen yang seharusnya bisa membersihkan tubuh, hanya lewat begitu saja dan menjelma residu.
Napas adalah energi. Nyaris semua agama dan kepercayaan mengajarkan diri untuk menyambut fajar. Bangun di sepertiga malam tentu bukan sekadar ritual berbasis dogma. Ia pun ritual yang berdasar atas kekuatan semesta menyediakan energi. Ilmu pengetahuan pun membuktikan bahwa menjelang fajar adalah waktu terbaik untuk membersihkan paru-paru sebab oksigen baru dilepas dari sumbernya, yaitu tetumbuhan. Ajaran ini juga yang disampaikan Si Rarung kepada sisia-nya, Raja Putri Sri Sanggramawijaya.
Kejernihan pikir ini sejatinya sangat diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan, apalagi jika itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Seorang pemimpin—kepala daerah, misalnya—tentu tidak bisa membuat keputusan hanya berdasar kepentingan pribadi atau golongannya. Idealnya begitu. Dan, kriteria ini tidak hanya untuk para pemimpin, tetapi untuk semua orang. Sebab, tiap individu berkuasa atas dirinya. Ia bisa membuat diri berguna, atau sebaliknya, merugikan orang lain.
Baca Juga: Rekreasi Pagi tentang Misteri Cindaku, Werewolf versi Indonesia?
“Tubuh manusia dapat dibersihkan dengan daun-daunan. Dapat dibersihkan dengan pasir. Dapat dibersihkan dengan air. Namun, isi pikiran dan hatinya hanya dapat dibersihkan dengan pengetahuan.” (halaman 349)