Melepas Dukacita

photo author
- Sabtu, 11 September 2021 | 20:56 WIB
Si Rarung - Cok Sawitri (Dok.klikanggaran.com/SekarMayang)
Si Rarung - Cok Sawitri (Dok.klikanggaran.com/SekarMayang)

Keberpihakan Diri

“Tidak boleh seorang raja memihak siapa pun, bahkan kebenaran sekali pun. Keadilan itu memiliki timbangannya sendiri. Berat ringannya tidak bisa disepakati. Tuanku, hanya berpihak kepada seluruh isi semesta ini agar dapat hidup sesuai karmanya.” (halaman 365)

Menjadi individu yang berpikiran netral tentu tidak mudah. Bukan hanya kejernihan pikir yang menjadi senjata, tetapi juga kemurnian hati melihat objek dari segala sisi. Sri Sanggramawijaya dalam dilema luar biasa ketika Janggala bergejolak, terbelah menjadi Janggalapura dan Janggala Lancana. Mapanji adalah adiknya, sementara Samarotsaha adalah suaminya. Dua-duanya sosok yang penting dalam hidup Raja Putri. Dua-duanya berhak mendapat perhatian. Jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka, oleh Mpu Bharadah, Raja Putri mendapat bimbingan dari Si Rarung, murid tertua Kabikuan Jirah, penerus ajaran Guru Ibu, Rangda Ing Jirah.Baca Juga: Rekreasi ke Gudang Harta Ekologis, Ada Apa Saja Ya, di Amazon?

Sejatinya, Rarung tidak ingin menerima titah Bharadah. Hatinya masih terluka karena Kabikuan Jirah terpaksa “dimatikan” oleh keadaan. Adalah Ratna Manggali, yang dapat melihat jauh ke depan, meyakinkan Rarung bahwa ajaran Guru Ibu harus tetap lestari. Cara satu-satunya adalah meneruskan ajaran itu melalui Sri Sanggramawijaya.

Dua insan yang sama-sama menyimpan dukacita, juga menyimpan hasrat, bertemu dalam satu adab Guru-Sisia. Dari sisi Raja Putri, berhadapan dengan cinta masa remajanya tentu menimbulkan gejolak dalam hati. Hanya ketenangan yang meredam segala kecamuk. Sedari kecil dibimbing untuk menjaga sikap, laku, dan lisan, tidak salah jika Airlangga memilihnya menjadi penguasa Janggala. Sri Sanggramawijaya tidak hanya adil dalam memimpin Janggala, tetapi juga adil dalam mengelola emosinya ketika berhadapan dengan sang guru maupun dalam keharusan mengambil keputusan di tengah konflik.

“Usah dipercakapkan. Usah dipertanyakan. Kekuasaan adalah dukacita.” (halaman 420)

Sampai pada titik tertentu, berkuasa atas sesuatu memang menyenangkan. Serasa berada di puncak dunia, bebas memandang ke segala arah. Namun, makin tinggi posisi kita, makin kencang pula angin yang menerpa. Dari sini, adil tampaknya menjadi hal yang sulit terwujud. Bagaimana kita meletakkan kaki, mengatur tubuh, semata-mata agar tidak terjungkal ketika badai datang.

Baca Juga: Bicara Kopi, Seperti Apa Kopi Bagus dan Jelek?

Penguasa tamak dan lalim tentu ingin tetap duduk di singgasana selamanya. Ia akan memanfaatkan posisinya untuk mengeruk sebanyak mungkin keuntungan, meskipun harus mengorbankan jiwanya. Namun, penguasa yang baik justru ingin berhenti ketika keadaan sudah tenang. Sebab, diri sejati akan selalu mencari kedamaian. Diri sejati akan terus terluka jika kerap memikirkan perseteruan. Maka, jalan menuju damai adalah dengan melepas dukacita, mengamatinya dari jauh tanpa harus bereaksi berlebihan. Sekian.

Judul buku : SI RARUNG

Penulis : Cok Sawitri

Penerbit : Penerbit Lingkup & SELFLOVEBALI

Cetak : 2021

Tebal : vi + 455 halaman

ISBN : 978-623-95307-1-6

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Dua Gelas Kisah Bagian Sepuluh

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kitt Rose

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X