“Wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) nggak bisa membangun dapur SPPG mewah yang harganya miliaran, maka kita harus membina kantin sekolah,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk fungsi pengawasan, bukan dengan lembaga lain seperti BPOM.
“Kerja sama dengan Pusekesmas yang bagian wilayahnya untuk supervisi, monitoring, dan evaluasi. Bukan dengan BPOM,” tegasnya.
Transparansi anggaran turut jadi perhatian.
“Transparansi keuangan di mana dapur dan penyedia diketahui publik, nggak diem-dieman,” kata Tan.
Tak hanya soal teknis distribusi, Tan juga menekankan perlunya edukasi gizi untuk anak-anak.
“Buktikan ada edukasi karena ini janji dari BGN supaya masyarakat bisa, anak-anak nggak buang sayur. Kalau sayur nggak doyan, nggak semua sayur berdaun. Ada wortel, labu siam dan libatkan tenaga pelaksana gizi (TPG) Puskesmas,” tandasnya.
Kasus keracunan akibat makanan MBG di sejumlah daerah juga memperkuat urgensi kritik tersebut.**
Artikel Terkait
Merebak 6 Kasus Keracunan Siswa dalam Program MBG, Ratusan Korban Dirawat hingga Jadi Alarm Serius Soal Standar Kebersihan
Dapur MBG Pertama di Luwu Utara Ada di Desa Sidoraharjo, Diresmikan Wakil Bupati Jumail Mappile
BGN Klarifikasi Isu 5.000 SPPG Fiktif: Tegaskan Proses Verifikasi, Mekanisme Dana, hingga Kebijakan Roll Back Dapur MBG
Menelaah Usulan DPR Ubah Skema MBG Jadi Bantuan Tunai, Istana Tegaskan Distribusi Makanan Siap Santap Masih yang Terbaik
352 Siswa Keracunan Massal Imbas MBG di Bandung Barat, Dedi Mulyadi Panggil Kepala Program untuk Evaluasi Terbuka