Jakarta,Klikanggaran.com - Diketahui, pada tanggal 29 September 2017, PT Adhi Karya melakukan perikatan dengan CRIM Jo, yang dituangkan dalam perjanjian Nomor LRT-CV-WO-326 dengan nilai perjanjian sebesar Rp981.338.443.249,40 (sebelum PPN). Dalam pelaksanaannya, perjanjian mengalami perubahan yang dituangkan dalam perjanjian Nomor LRT-CV-WO-326- AMD1 tanggal 16 Agustus 2018, yang mengubah nilai yang diperjanjikan menjadi sebesar Rp1.004.593.076.758,03 (sebelum PPN). Akan tetapi, terdapat kelebihan pembayaran pelaksanaan perjanjian manufacturing, delivery, installation, testing & commissioning, and training of trackwork
system sebesar Rp30.907.333.33.
Penambahan nilai yang diperjanjikan sebesar Rp23.254.633.508,73 tersebut antara lain penambahan nilai Project Management sebesar Rp476.681.231,88 yang terdiri dari penambahan Insurances (% Contract Value) sebesar Rp32.712.543,21, Bond (% Contract Value) sebesar Rp68.398.953,98, dan Other SCF (% of Contract Value) sebesar Rp375.569.734,70, dan penambahan nilai Rel 54E1, Grade R350HT, Class A, 25m long (54,77 kg) sebesar Rp6.500.141.093,4, dengan rincian:
1) Sebanyak 5.283,00 ton dengan harga satuan awal sebesar Rp12.662.063,96 menjadi sebesar Rp13.280.668,61 (bertambah sebesar Rp618.604,65 per ton).
2) Sebanyak 4518,7 ton dengan harga satuan awal sebesar Rp12.662.063,96 menjadi sebesar Rp13.377.325,59 (bertambah sebesar Rp715.261,63 per ton).
Serta penambahan pekerjaan yang sebelumnya belum diperjanjikan yaitu Depo Trackwork sebesar Rp16.277.811.183,33.
Berdasarkan data yang dihimpun Klikanggaran.com, sedari proses pengadaan, menunjukkan bahwa pengadaan belum
dilaksanakan secara optimal untuk memperoleh harga yang kompetitif. Dalam pelaksanaannya, Manager Biro SCM Departemen Perkeretaapian, menuangkan beberapa unsur biaya lebih tinggi (Mark Up) dari dokumen penawaran, yang secara keseluruhan sebesar Rp30.907.333.332,25.
Lebih lanjut diketahui, bahwa dalam proses penunjukan penyedia barang dan jasa baik dalam perannya sebagai vendor maupun subkontraktor, tidak menyusun owner’s estimate atau HPS. Selama ini, dalam penunjukannya hanya mendasarkan
pada penawaran harga terendah diantara peserta dan kecukupan Rencana Anggaran Pelaksanaan (RAP) sehubungan dengan kebutuhan pengadaan tersebut.
Untuk diketahui, peraturan Menteri BUMN menyatakan secara tegas bahwa pengadaan barang dan jasa dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip umum dan best practice yang berlaku. Salah satu best practice pengadaan barang dan jasa di Indonesia adalah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mewajibkan adanya Harga Perkiraan Sendiri sebagai pembanding kewajaran harga suatu pekerjaan.
Harga Perkiraan Sendiri digunakan sebagai alat untuk menilai batas kewajaran termasuk rinciannya dan dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran untuk setiap jenis pekerjaan. Harga Perkiraan Sendiri disusun dan dikalkulasi secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan meliputi harga pasar, informasi harga yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan (antara lain dari internet), harga/tarif barang/jasa yang
dikeluarkan oleh pabrikan/ distributor tunggal, EE dan keuntungan biaya overhead dari penyedia barang/ jasa yang dianggap wajar).
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas pelaksanaan perjanjian sebesar Rp30.907.333.332,25.