Jakarta, Klikanggaran.com (13-02-2019) - Siapa sangka kalau sebelumnya pembangunan CNG di Bangkanai, Kalimantan Tengah, oleh PT PLN Enjiniring sempat tersendat. Pelaksanaan pada proyek tersebut sempat terlambat dari jadwal yang direncanakan. Bahkan, atas keterlambatan yang terjadi, PT PLN Enjiniring belum mengenakan denda kepada kontraktor. Nilainya sebesar USD.868.105,37 dan Rp2.994.067.308.
Sehingga publik sangat menyayangkan, masalah seperti ini masih saja terjadi di pemerntah daerah. Sudah pembangunan tidak selesai tepat waktu, ditambah PT PLN Enjiniring berpotensi kehilangan pendapatan non enjiniring dari denda tersebut.
Sebelumnya, pada saat awal pembangunan proyek tersebut, PT PLN Enjiniring mendapatkan amanah dan tanggung jawab. Yaitu sebagai pelaksana pembangunan CNG (compressed natural gas) Plant yang ditunjuk langsung oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Keduanya merencanakan CNG Plant yang akan menyalurkan gas kepada PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) di Bangkanai Kalimantan Tengah. Pembuatan CNG Plant Bangkanai ini diketahui bekerja sama antara PT PLN E, dengan Konsorsium PT Odira Energy Persada dan PT Timas Suplindo. Nilai kontrak proyek yang diajukan adalah sebesar USD20,188,496.97 dan Rp69.629.472.280, termasuk Pajak Penambahan Nilai (PPN).
Hanya saja, pada proses pengadaan dan pelaksanaannya, kontrak tersebut diketahui bermasalah, seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi. Termasuk, pada perencanan pengadaan pun dianggap bermasalah. Karena kurang mempertimbangkan kompleksitas pekerjaan dan penetapan waktu pelaksanaan.
Pembangunan Proyek CNG
Panitia pengadaan dianggap tidak mempertimbangkan risiko-resiko lebih lanjut terkait keterbatasan kondisi lokasi. Dan, bagaimana memitigasi risiko dalam rangka memenuhi target waktu yang telah ditetapkan.
Dilain pihak, pada pelaksanaannya, baik pembangunan CNG dan PLTG Bangkanai mengalami perpanjangan waktu. Hal ini dikarenakan beratnya kondisi lapangan.
Selin itu, terdapat kelemahan pada saat melakukan negosiasi perubahan harga peralatan FOB menjadi Ex-Work. Hal ini diketahui dari perbandingan antara dokumen penawaran kontraktor dengan daftar harga peralatan kontrak (Buku I).
Ternyata, hanya peralatan mechanical saja yang seluruhnya berubah. Sedangkan harga peralatan electrical dan instrument and control berubah pada marine freight dan insurance saja. Sedangkan harga FOB ke Ex-Work tidak berubah.
Artinya, perubahan harga peralatan FOB menjadi Ex-Work menghasilkan penurunan harga kontrak sebesar USD24,238.70 dan Rp523.311.104. Namun, harga kontrak tersebut dapat lebih rendah jika peralatan electrical dan instrument and control juga turun.
Baca juga : PDRB Kabupaten Kalimantan Timur, Sektor Pendidikan Masih Minim Perhatian