Jakarta, Klikanggaran.com (13-04-2018) – Potensi Pendapatan Negara atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia terbilang cukup besar nilainya. Hal ini karena setiap transaksi pembelian barang dikenakan pajak sesuai dengan sistem perpajakan.
Untuk diketahui, bahwa PPN dipungut oleh pihak pembeli barang atau pengguna jasa atas transaksi yang dilakukan. Kemudian, kewajiban pemungut setelahnya adalah menyetorkan PPN atas pemanfaatan barang atau jasa yang telah diterimanya. Wajib Pungut (WAPU) sebagai Wajib Pajak (WP) yang menyetorkan, memiliki batas waktu setoran atas PPN ini hingga tanggal 15 bulan berikutnya setelah masalah terutangnya PPN. Apabila tidak, maka hal ini dianggap keterlambatan oleh DJP dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda/bunga sebesar 2 persen dari dasar pengenaan pajak.
Yang menarik, ada temuan potensi hilangnya pendapatan negara berupa PPN pada DJP di Kanwil Jakarta Utara sebesar Rp274.967.899.354. Hilangnya setoran tersebut diketahui selama rentan waktu 5 tahun dari 2011 hingga tahun 2016. Tentu hal tersebut juga telah melewati batas waktu setoran hingga harus dikenakan sanksi administrasi. Dari nilai tersebut diketahui, potensi atas sanksi administrasi berupa bunga/denda nilainya mencapai Rp82.271.887.453.
Jadi bila dijumlahkan nilai PPN dan denda/bunga tersebut, nilainya mencapai Rp357.239.786.807. Angka yang cukup besar, bukan? Deretan hal tersebut tentu telah banyak melanggar peraturan-peraturan pemerintah. Yakni telah melanggar UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Selain itu juga, telah melanggar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak pada pasal 2 ayat (19) yang menyatakan bahwa “PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN yang ditunjuk selain Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”.