Jakarta, Klikanggaran.com - Momen pesta demokrasi akan segera hadir, beberapa kota dan provinsi akan menghadapi Pilkada serentak 2017. Persiapan Pemilu Pilpres-Pileg serentak 2019 juga akan segera dirasakan masyarakat. Sebagai salah satu instrumen demokrasi, Komisi Pemilihan Umum bekerja sebagai eksekutif, maka dibutuhkan pengawasan yang kuat dan professional.
Direktur Peludem, Titi Anggraeni, pada kesempatan diskusi RUU Pemilu di Ruang Fraksi PPP pada Selasa 27 September 2016 mengungkapkan bahwa lembaga pengawasan pemilu perlu mempersiapkan diri karena dalam proses Pemilu pasti akan ada aliran dana yang besar masuk ke dalam proses kampanye.
“Aliran dana pasti banyak, Lembaga Pengawas Pemilu (Bawaslu, Panwas Provinsi, dan Panwas kab/kota) harus kerja lebih baik karena mereka memiliki wewenang untuk mengawasi anggaran kampanye partai politik,” tegas Titi.
Titi juga menambahkan, jika anggaran Negara memiliki alokasi pos demokrasi yang besar, tentu Panwaslu kota/kab bisa dipermanenkan. Pada saat ini tugas Panwaslu kota/kab bekerja tidak sampai 2 tahun, dan hanya bekerja sesuai waktu Pemilu. Padahal jika menuju keinginan Pemilu Pileg-Pilpres serentak 2019, atau bahkan Pilkada-Pileg-Pilpres serentak 2024, instrumen pengawasan harus lebih lama bertugas dan menyiapkan tahapan Pemilu. Maka dibutuhkan kantor permanen dan anggota bekerja selama 5 tahun.
“Kita lihat anggaran Negara, jika anggaran kepemiluan sudah mendapatkan alokasi yang cukup, itu sangat membantu proses permanen sarana Panwaslu kota/kab,” tambah Titi.
Di akhir diskusi RUU Kepemiluan yang sedang digodog oleh Pemerintah dan DPR, Titi menjelaskan bahwa ambang batas (Parliamentary Treshold) tidak perlu besar, cukup 1 persen. Menurut pandangannya, Pemilu dengan ambang batas parlemen yang tinggi hanya membuang suara sah.
“Ambang batas kami usulkan 1 persen. Kami tidak setuju batas 7 persen, akan banyak suara yang terbuang,”ujar Titi.