Jakarta, Klikanggaran.com (3/12/2017) - APBD DKI Jakarta tahun anggaran 2018 akhirnya disepakati legislatif dan eksekutif. Dari kesepakatan tersebut muncul rekor baru APBD tertinggi se-Indonesia, yaitu sebesar Rp77.117.365.231.898. Angka ini naik Rp5.293.789.868.640 jika dibandingkan APBD tahun sebelumnya senilai Rp71.823.575.363.258.
Terkait APBD DKI Jakarta ini, ada beberapa catatan penting dari Center for Budget Analysis (CBA), seperti disampaikan pada Klikanggaran.com di Jakarta, Minggu (3/12/2017).
Pertama, Pemprov DKI Jakarta menargetkan pendapatan asli daerah PAD sebesar Rp44.564.028.552.448, jauh lebih besar dibanding PAD tahun 2017 yang hanya mencapai Rp41.687.387.826.535. Hal ini berimbas kepada target penerimaan pajak daerah yang mengalami kenaikan menjadi Rp38.125.000.000.000 naik Rp 2,7 triliun lebih.
Kedua, naiknya targetan pendapatan ini sebagai imbas dari membengkaknya beberapa pos belanja. Untuk pos belanja langsung dari sebelumnya hanya senilai Rp 35 triliun membengkak Rp 5,2 triliun menjadi Rp 40,4 triliun. Meskipun secara porsi anggaran mencapai 52 persen sedikit lebih besar dari porsi belanja tidak langsung, namun banyak mata anggaran yang terlalu besar nominalnya. Bahkan, terkesan mubazir. Misalnya dana Kunjungan Kerja DPRD yang sebelumnya hanya dianggarkan senilai Rp8.826.185.000, tiba-tiba naik drastis menjadi sebesar Rp107.934.967.640. Atau, pembuatan buku profil pimpinan dan anggota dewan sebesar Rp388.434.124, tiba-tiba muncul padahal sebelumnya tidak dianggarkan, dan masih banyak lagi mata anggaran yang terlihat janggal.
Ketiga, untuk belanja tidak langsung dari sebelumnya senilai Rp 26,7 triliun meningkat sebesar Rp 4 triliun lebih menjadi Rp 30,7 trilun. Selain itu belanja tidak terduga ikut membengkak sebesar Rp 218 miliar dari yang sebelumnya hanya senilai Rp 40,1 miliar menjadi Rp 258 miliar.
Koordinator Investigasi CBA, Jajang Nurjaman, menekankan, khusus untuk belanja tidak langsung, secara porsi anggaran mencapai 40 persen dari total APBD DKI. Sebagai catatan belanja tidak langsung ini merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, dan ini jelas pos anggaran yang oleh CBA dinilai kurang produktif.
Bahkan menurutnya, jika diurai lagi pembengkakan yang cukup besar ada pada belanja tidak langsung, yakni belanja pegawai yang naik sebesar Rp 487 miliar, belanja hibah naik sebesar Rp 286 miliar, belanja bantuan sosial kenaikannya sebesar Rp 844 miliar, dan yang tidak kalah besar adalah belanja tidak terduga, yang ikut membengkak sebesar Rp 218 milar.
“Pos-pos anggaran ini, khususnya hibah, bansos, serta belanja tidak terduga, selain kurang produktif, pada pelaksanaannya seringkali terjadi penyelewengan. Karena peruntukan dan pertanggungjawaban yang seringkali kuran memadai,” tutur Jajang.
Jika belanja langsung dan tidak langsung mengalami pembengkakan, ada juga beberapa pos anggaran yang justru dipangkas. Misalnya untuk penyertaan modal daerah, dari sebelumnya sebesar Rp 9,9 triliun dipangkas sebesar Rp 4 triliun menjadi Rp 5,9 triliun.
Tentunya, lanjut Jajang, APBD DKI Jakarta sebesar Rp 77,1 triliun lebih ini masih belum final, setelah disahkan oleh Gubernur dan DPRD draft APBD DKI 2018 masih akan dibahas Kemendagri maksimal selama 15 hari.
“Kita berharap, Kemendagri mengavaluasi dengan detai APBD DKI Jakarta, agar uang warga Jakarta puluhan triliun tersebut bisa digunakan seadil-adilnya,” tutup Jajang.