KLIKANGGARAN -- Novel "Mondang Versus Jakarta" karya Sinar Yunita mengisahkan kehidupan Mondango Parulian Siringo-ringo, seorang wanita muda yatim piatu dari Sumatera Utara. Mondang, begitu ia akrab dipanggil, kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan lalu lintas pada usia muda dan tinggal bersama bibi serta pamannya.
Berbeda dengan sebagian besar wanita seusianya yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Mondang memilih untuk menekuni profesi sebagai montir di sebuah bengkel otomotif, sebuah keputusan yang menunjukkan keteguhan hati dan dedikasinya terhadap industri otomotif yang dicintainya. Karakter Mondang menjadi teladan yang kaya akan pesan moral seperti ketekunan, kecerdasan, dan kegigihan dalam mengejar impian.
Selain menyajikan narasi personal Mondang, novel ini juga mengandung elemen kritik sosial yang diungkapkan melalui pengalaman dan pandangan hidup karakter utama. Salah satu kritik sosial yang ditekankan dalam cerita ini adalah pandangan Mondang terhadap Jakarta sebagai tempat yang tidak aman. Ini mencerminkan realitas tingginya tingkat kriminalitas di ibu kota, yang menjadi sorotan dalam konteks kritik sosial terhadap kondisi sosial-ekonomi di Indonesia.
Novel sebagai sebuah bentuk sastra tidak hanya menceritakan cerita, tetapi juga merangkum pendidikan, kritik sosial, dan bahkan upaya perbaikan kondisi masyarakat melalui pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Ratna (2017:334), yang menggarisbawahi peran penting sastra dalam menggugah kesadaran sosial serta menjadi cerminan dari berbagai fenomena sosial yang ada.
Analisis Kritik Sosial
Kritik sosial dalam "Mondang Versus Jakarta" dapat ditelusuri melalui beberapa kutipan yang signifikan dalam novel:
Data 01
“Kalau aku mengatakan keinginanku, kalian pasti akan mengabulkannya. Aku tahu kalian melakukannya bahkan dengan berbagai cara. Tidak bisa masuk negeri. Swasta juga bisa. Toh banyak kan PTS yang kualitasnya bagus.” (Yunita, 2018:12).
Menyampaikan kritik terhadap pandangan negatif terhadap perguruan tinggi swasta (PTS). Mondang dan keluarganya menghadapi tekanan untuk masuk perguruan tinggi negeri, meskipun banyak PTS yang memiliki kualitas pendidikan yang sangat baik. Kutipan ini menyoroti stereotip dan persepsi yang mungkin tidak selalu mencerminkan realitas, serta menekankan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh institusi tempat mereka belajar.
Data 02
“Uda, sini deh aku bilangin... Sampai saat ini aku sedang mikir gimana cara merakit mesin menjadi sebuah mobil keluaran baru, mangkanya aku suka bengkel” (Yunita, 2018:14).
Pernyataan Mondang juga mengkritik stereotip gender yang melekat, bahwa hanya laki-laki yang cocok untuk bekerja di industri otomotif. Ia menegaskan bahwa perempuan juga mampu dan layak untuk meniti karir dalam bidang yang dianggap 'maskulin' ini, menantang pandangan tradisional yang membatasi peran gender dalam dunia kerja.
Data 03
“Hmm, semakin banyak saja pencuri moderen yang tampan.” (Yunita, 2018:28).