Isu Kekerasan Seksual di Pesantren Disorot Publik, Kritik Menguat soal Luka Kepercayaan, Ketimpangan Kuasa, dan Ancaman Trauma Santri

photo author
- Selasa, 28 Oktober 2025 | 21:21 WIB
Menyoroti pernyataan influencer, Pandji Pragiwaksono terkait isu kekerasan seksual yang dinilai Menag Nasaruddin Umar terlalu dibesar-besarkan ( (YouTube.com/PandjiPragiwaksono / Instagram.com/@kemenag_ri))
Menyoroti pernyataan influencer, Pandji Pragiwaksono terkait isu kekerasan seksual yang dinilai Menag Nasaruddin Umar terlalu dibesar-besarkan ( (YouTube.com/PandjiPragiwaksono / Instagram.com/@kemenag_ri))

Menag Minta Pesantren Tak Distigma
Menag Nasaruddin sempat mengimbau publik agar tidak menilai negatif pesantren secara keseluruhan karena ulah oknum tertentu. Ia menegaskan, lembaga pesantren memiliki peran penting historis dan pendidikan.

“Jangan sampai orang alergi memasukkan anaknya ke pondok pesantren. Jangan sampai perjuangan para kiai dan santri yang sudah ratusan tahun membangun pesantren menjadi rusak karena hal itu,” ujar Nasaruddin di Kantor Kemenko PM, Jakarta, pada 14 Oktober 2025.

Namun, kumpulan data justru menunjukkan jumlah kasus signifikan dalam lembaga berbasis agama.


573 Kasus Kekerasan di Lembaga Berbasis Agama
Menurut JPPI, ada 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2024, dengan 42 persen berupa pencabulan.

Dari total tersebut, 36 persen terjadi di institusi keagamaan.
Kasus-kasus ini muncul di berbagai daerah, mulai Trenggalek, Agam, Karawang, sampai Bekasi. Pada Agustus 2025, ketua yayasan pesantren di Tapanuli Selatan juga ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan terhadap santriwati berusia 17 tahun.

Melihat kondisi ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, mendorong pemerintah menyusun kurikulum anti pencabulan dan kekerasan seksual khusus di sekolah dan pesantren.

Luka Kepercayaan dan Harapan yang Terkhianati
Dalam pernyataan resminya pada Selasa, 22 Juli 2025, Lalu Hadrian menilai dunia pendidikan harusnya menjadi ruang aman.

“Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati,”
ujar Lalu.

Polemik pun berkembang lebih luas dan kini menyentuh pertanyaan krusial: apakah pemerintah serius memperkuat perlindungan santri, atau narasi “dibesar-besarkan” justru berpotensi menutupi akar masalah?**

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muslikhin

Sumber: Liputan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X