Berikutnya, saya menarik pernyataan saya 2 tahun yang lalu yang menolak untuk dilakukan pengawasan eksternal terhadap MK. Saat ini saya berpendapat wajib hukumnya, sebagai affirmative action bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial dan badan as hoc yang berada di luar MK. Langkah ini harus diambil sebagai upaya darurat untuk memulihkan kepercayaam publik terhadap MK.
Lalu, saya minta pemerintah segera untuk mengusulkan revisi UU MK untuk segera dibahas bersama DPR. Ini karena dampaknya tidak hanya potensi, akan tetapi telah menjadi bukti yang sempurna, bahwa walaupun kita kesankan 9 orang hakim ini negarawan, akan tetapi ternyata nafsu keduniawian dan hasrat setan lainnya masih melekat dan kental sekali. Oleh karena itu wajib diawasi, tinggal kita bicara instrumen dan bentuk konkritnya seperti apa.
Saya juga meminta MK untuk bertanggungjawab. Kalau Ketua MK mundur, itu lebih baik. Kita punya contoh bagaimana integritas dan harga diri itu lebih utama ketimbang jabatan seperti kejadian Dirut Citilink baru-baru ini. Kalaupun tidak, Ketua MK lakukan langkah konkrit, tidak hanya statement retoris. Tapi melakukan penyidikan internal, kalau perlu melibatkan dan bentuk tim investigator yang melibatkan publik.
Kejadian ini bukan yang pertama, dan pada masa kepemimpinan beliau, kita juga dengar bagaimana desas-desus adanya jual beli perkara dalam Pilkada Kabupaten Muna, sampai dilakukan pemungutan suara ulang hingga dua kali, dan kasus-kasus lainnya. Jadi, beliau mending lakukan hal konkrit, buka posko penerimaan putusan-putusan bermasalah. Korban keadilan MK pun juga punya nama-nama hakim yang katanya terlibat. Penyelidikan dapat dimulai dari sana, begitu juga diperiksa juga, dong, panitera yang mengatur lalu lintas perkara. Sekjen MK yang sering berkomunikasi dsngan pihak eksternal, petugas persidangan, dan para pengkaji, juga staf ahli.
Kita jangan terlalu lugu kalau kejahatan ini dilakukan oleh satu orang. Sulit juga untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa hakim-hakim MK, panitera, sekjen, dan petugas persidangan, juga pengkaji, tidak korup dan memang berintegritas. Sedih dan betul-betul kecewa kalau benar "draft putusan telah beredar di tangan pemegang kapital", di mana marwah MK yang katanya isinya negarawan, tapi faktanya praktek setan? Sehingga peradilan sesat dan putusan zalimlah yang menjadi produknya.
Dewan Etik silahkan dibentuk dan bekerja, tapi yang lebih utama adalah membongkar sumber malapetaka ini sampai ke akar-akarnya. Buat posko pengaduan, kalau perlu saya yang menjadi inisiator. Libatkan para pencari keadilan yang sempat terzalimi, bahkan kalau perlu kita minta keterangan Akil Mochtar dan para mantan-manran hakim kembali, apa iya Pak Akil main cuma sendiri?
Saya minta Pemerintah serius untuk benahi MK, ssbagai pilot project penegakan hukum yang berdampak masif bagi institusi kenegaraan. Apalagi saat ini yang dimainkan adalah rumusan norma/pasal dalam UU. Hal ini merupakan kejahatan serius setara dengan subversive yang terdampak langsung bagi sendi-sendi kehidupan negara. Karena UU itu sejatinya adalah daulat rakyat, sekaligus instrumen hukum dari penjabaran norma konstitusi sebagai kontrak sosial dan perjanjian negara dengan rakyatnya. UU itu sangat sakral dan bernuansa Indonesia Raya, tapi oleh MK dibuat sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan dan ditunggangi oleh pemegang kapital, yang pastinya berdampak masiv.
MK harus segera berbenah dan menyadari dampak dari akrobat-akrobat hukumnya melalui putusannya, walau tidak bisa dibuktikan adanya praktik jual beli pasal. Putusan MK terkait keserentakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden di 2019 ini membawa dampak yang sangat luar biasa, dan jujur saja, jauh dari perbaikan demokrasi.