K.H. Noer Ali, Ulama Betawi Pejuang Kemerdekaan: Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

- Minggu, 25 September 2022 | 15:01 WIB
K.H. Noer Ali (Instagram/@senimannu)
K.H. Noer Ali (Instagram/@senimannu)

KLIKANGGARAN -- Kepulangan K.H. Noer Ali ke kampung halamannya Ujung Malang pada awal Januari tahun 1940, telah menjadi duri dalam daging bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda karena kemampuannya mengorganisir massa.

K.H. Noer Ali mendirikan pesantren, dan kemudian menggkoordinir pembangunan akses jalan secara besar–besaran antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu yang dilakukan secara sukarela dan terselesaikan pada tahun 1941.

Sebagai salah satu pemimpin agama terkemuka di betawi, namanya diusulkan masuk dalam daftar Shimubu (Kantor Urusan Agama), pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Namun K.H.Noer Ali menyikapinya dengan sangat hati–hati, dan kemudian menolaknya.

Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, K.H. Noer Ali menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung, dan menyuruh salah seorang santrinya untuk mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA).

Baca Juga: Inilah Profil Muhammad Rafli, Stiker Arema FC yang direkrut Timnas Indonesia

Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, K.H. Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir.

Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi.

Gelar kiai haji sendiri beliau dapatkan dari bung Tomo yang dalam pidatonya melalui pemancar Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya berkali-kali menyebut nama K.H. Noer Ali, akhirnya gelar guru pun tergeser dan berganti dengan makna yang sama, Kiai Haji.

Ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947 KH.Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.

Baca Juga: Permintaan Maaf Gandhi yang Disomasi Es Teh karena Sebuah Cuitan Berisi Celaan di Twitter

K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.

Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, dibeberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf (psy-wars). KH Noer Ali memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran kecil yang terbuat dari kertas.

Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.

Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede.

Halaman:

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Merevitalisasi Petilasan Keraton Pajang

Senin, 16 Januari 2023 | 20:19 WIB
X