FITRA Ungkap Sembilan Fakta Menarik atas Implementasi UU Desa

photo author
- Sabtu, 21 Desember 2019 | 22:49 WIB
IMG-20191221-WA0033
IMG-20191221-WA0033

Terdapat 1.670 dari 2.188 BUMDes yang tidak berjalan, tapi tetap mendapat kucuran anggaran dari APBDesa. Padahal anggaran untuk BUMDesa merupakan kategori ‘penyertaan modal’, bukan kategori belanja yang habis pakai. Dana ini merupakan piutang bagi pengelola BUMDesa kepada Desa dan harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.


7.Lemahnya Akuntabilitas Sosial di Desa.


Kebijakan di tingkat desa dikuasai oleh segelintir orang yang merupakan elit di tingkat desa. Biasanya adalah orang-orang dekat kepala desa atau BPD yang pro terhadap kepala desa. Sementara posisi warga desa sangat lemah, pasif, dan tidak ada keberanian melakukan kontrol terhadap pembangunan yang ada di desa.


8. Tingginya Korupsi Anggaran Desa.


Permasalahan muncul berawal dari pemilihan kepala desa yang masih menggunakan politik uang, sehingga Kepala Desa punya orientasi mengembalikan modal politiknya. Selain itu, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh warga desa, BPD, inspektorat, dan Aparat Penegak Hukum (APH). Pemerintah telah menggelontorkan anggaran Dana Desa dari APBN mencapai Rp. 257,7 triliun sepanjang tahun 2015-2019. Hingga saat ini sudah ada 1.371 pelaporan pengaduan kasus dana desa, dan baru 252 kasus korupsi DD yang sudah diputus. Kasus korupsi DD ini melibatkan 214 Tersangka Kepala Desa, dengan kerugian ditaksir hingga Rp 107,7 milyar.


9. Lemahnya fungsi BPD.


Badan Permusyawarahan Desa mempunyai tiga fungsi, yakni menyusun Peraturan Desa bersama Kepala Desa, melakukan serap aspirasi dan pengaduan, dan kontrol terhadap kinerja Kepala Desa. Fungsi BPD di banyak desa masih tumpul karena tidak pernah diberi penguatan kapasitas. Bahkan perannya cenderung ‘dilangkahi’ oleh Aparat Penegak Hukum dalam melakukan pengawasan pelaksanaan APBDesa.


Untuk itu, Seknas FITRA, melalui Misbah Hasan, merekomendasikan agar mendorong transparansi desa lebih substantif, dengan mempublikasikan APBDesa lebih detail dan juga realisasi APBDesa.


"Selain itu, mendorong kementerian terkait/pemerintah provinsi mendesak Kabupaten/Kota segera menerbitkan Perbup/Perwali tentang Daftar Kewenangan Desa. Memperluas Ruang Fiskal Desa dan mengurangi intervensi program dari Supra Desa (Kabupaten, Provinsi, dan Kementerian), dan deregulasi turunan UU Desa," ujar Misbah pada Klikanggaran.com, Sabtu,(21-12).


Misbah juga menekankan agar penyederhanaan Laporan Penggunaan Anggaran Desa.


"Kalau bisa Desa hanya membuat satu laporan saja, yakni penggunaan APBDesa, meski anggarannya bersumber dari Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah, Bantuan Keuangan Prov/Kab/Kota, dan lain-lain," sambunngnya.


Lanjutnya, kata Misbah, pentingnya melakukan pendampingan yang intensif kepada BUMDes yang potensial serta menutup dan memberi punishment BUMDes-BUMDes abal-abal. Ia juga menyarankan memperkuat peran BPD dan kelompok masyarakat dalam pencegahan korupsi anggaran desa melalui supervisi dari Inspektorat.


"Penindakan kasus-kasus korupsi Anggaran Desa oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Mengembangkan akuntabilitas sosial di tingkat desa melalui Literasi Anggaran Desa dan Posko Pengaduan Warga yang dikelola BPD," pungkasnya.


Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

X