FITRA Ungkap Sembilan Fakta Menarik atas Implementasi UU Desa

photo author
- Sabtu, 21 Desember 2019 | 22:49 WIB
IMG-20191221-WA0033
IMG-20191221-WA0033


Jakarta,Klikanggaran.com - Sekretaris Jendral (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menilai bahwa di tengah klaim capaian atas implementasi UU Desa yang fantastis oleh Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Seknas FITRA dan Simpul Jaringan FITRA justru menemukan fakta menarik  atas implementasi UU Desa.


Misbah menyebutkan, fakta tersebut didasarkan dari hasil riset dan observasi di 33 desa dampingan yang tersebar di 11 kabupaten dan enam provinsi di Indonesia, yakni Kabupaten Bima dan Lombok Utara, Provinsi NTB; Kabupaten Pangkep dan Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Pemalang, Brebes, dan Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Trenggalek, Lumajang, Bondowoso, Provinsi Jawa Timur; dan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.


Adapun 9 fakta tersebut antara lain:


1. Transparansi Anggaran Desa Belum Berkualitas.


Sebagian besar desa masih enggan mempublikasikan anggaran desanya. Meski sudah punya Website Desa & Baliho APBDesa, namun kurang informatif karena sebatas ringkasan dan belum dijadikan sebagai bahan acuan perencanaan dan penganggaran dalam Musyawarah Desa (Musdes).


2. Keengganan Kabupaten/Kota menerbitkan Perbup/Perwali tentang ‘Daftar Kewenangan Desa’.


Dari 74.957 Desa, baru sekitar 20 persen yang sudah menerbitkan Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwali) terkait Daftar Kewenangan Desa. Hal ini menghambat azas rekognisi dan subsidiaritas yang dimiliki oleh desa. Desa masih banyak bergantung kepada Supra Desa dalam menentukan kewenangannya.


3. Sempitnya Diskresi Fiskal dan Inovasi Desa.


Perbup/Perwali tentang Penggunaan Anggaran Desa (DD dan ADD) banyak yang sudah diplot oleh Supra Desa (Pemda dan kementerian), sehingga program prioritas hasil Musyawarah Desa (Musdes) dan itu betul-betul menjadi kebutuhan warga desa banyak tidak terakomodir di RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa.


4. Disharmoni Regulasi Pengelolaan Keuangan Desa.


Misalnya, Permendesa 16/2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2019 tidak sinkron dengan Permendagri No. 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa terkait nomenklatur Bidang, Sub Bidang, dan Kegiatan, sehingga berpotensi dianggap penyimpangan saat audit.


5.Rumitnya Penyusunan Laporan Penggunaan Anggaran Desa.


Baik yang bersumber dari transfer pusat maupun daerah (Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah, dll). Rumitnya pelaporan keuangan desa ini menyebabkan Kepala Desa dan Perangkat Desa terjebak pada aktivitas administratif. Interaksi dengan warga desa menjadi berkurang.


6.Banyaknya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang mangkrak tapi tetap mendapatkan penyertaan modal dari APBDesa.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

X