Kekerasan Seksual Diabaikan DPR? Buktinya RUU PKS Belum Selesai Juga

photo author
- Minggu, 22 September 2019 | 18:54 WIB
ruu pks
ruu pks


Klikanggaran.com, JAKARTA-- Dinda Nur Annisa Yura, Ketua Solidaritas Perempuan, menilai bahwa belum diselesaikannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) menunjukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  tidak serius dalam bekerja.


Menurut Dinda, keadaan ini juga menunjukkan watak asli DPR yang tidak menganggap kekerasan seksual sebagai suatu masalah krusial.


"Tidak seriusnya DPR terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu sebenarnya menunjukkan watak anggota DPR itu seperti apa," kata Dinda selepas menghadiri diskusi di Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).


"Watak anggota DPR yang menoleransi kekerasan seksual, tidak menganggap kekerasan seksual itu sesuatu yang penting, tidak menghargai perempuan sebagai manusia dan melihat perempuan lebih rendah dari laki-laki dalam konteks kehidupan manusia," kata dia. 


Menurut Dinda, alih-alih mengebut RUU PKS yang pengesahannya didorong banyak masyarakat sipil, DPR justru lebih mengutamakan pembahasan RUU yang cenderung berfokus pada investasi. Oleh karenanya, ketimbang persoalan kekerasan seksual, perihal investasi menjadi isu yang lebih diprioritaskan DPR.


Padahal, angka kekerasan seksual tidak pernah turun dari tahun ke tahun. Faktanya, kekerasan seksual pun tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga laki-laki.


 "Saya pikir kalau misalnya pemerintah serius dengan hal ini seharusnya ada tindakan, tapi kan memang tidak ada pernyataan, pembelaan, dan upaya apa pun yang dilakukan untuk mendukung disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," ujar Dinda.


Ia khawatir, jika RUU PKS tak kunjung selesai, angka kekerasan seksual akan terus meningkat. Sebab, menurut Dinda, sampai saat ini belum ada landasan hukum komprehensif yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Akan banyak kejadian-kejadian yang sebenarnya merupakan kekerasan seksual, tetapi tidak bisa dihukum karena tidak adanya payung hukum yang memadai. Selain itu, budaya menyalahkan korban kekerasan seksual masih ada. 


"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya nanti juga mencakup bagaimana proses pembuktian atau akses keadilan bagi korban juga memperhatikan aspek-aspek psikologis dan kerentanan perempuan sebagai korban kekerasan seksual," kata Dinda.


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga selesai meskipun masa kerja DPR tersisa sekitar satu minggu lagi. Menurut pihak DPR, ada beberapa hal yang masih menjadi perdebatan dalam RUU PKS, seperti judul RUU, definisi yang dinilai masih ambigu, hingga soal pidana dan pemidanaan.


"Satu, mengenai judul. RUU Penghapusan Kekerasaan Seksual. Kedua, definisi. Definisi ini oleh teman-teman anggota panja menganggap bermakna ambigu. Kalau dipahami sebaliknya bisa menjadikan undang-undang ini terlalu bebas," kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019) sebagaimana dikutip oleh Kompas.


Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, menyebut, RUU PKS masih menjadi perdebatan terkait judul yang ditulis.


"Judul memang masih terjadi perdebatan apakah menggunakan istilah tindak pidana penghapusan kekerasan seksual, ada juga yang mengusulkan tindak pidana kejahatan seksual, ada yang mengusulkan undang-undang ketahanan keluarga. Itu semua tentu memiliki implikasi terhadap pasal-pasal turunannya," kata Ace di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).


Panja DPR belum menemukan titik temu untuk membahas kelanjutan dari RUU PKS tersebut. Pihaknya juga tengah fokus di RUU Pesantren. Setelah sah, mereka akan fokus ke RUU PKS.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tim Berita

Tags

Rekomendasi

Terkini

X