Jakarta, Klikanggaran.com (24/7/2017) - Kebijakan Pemerintah memberikan kelonggaran ekspor mineral logam yang belum dimurnikan di dalam negeri telah memakan korban hingga berdarah-darah. Dan, menimbulkan perseteruan antara pelaku industri pemurnian mineral logam yang saat ini sudah membangun sekitar 25 smelter di dalam negeri. Sejumlah nilai investasi puluhan miliar dollar Amerika, sejak diberlakukannya ketentuan dalam Undang Undang (UU) Minerba Nomor 4 Tahun 2009 terancam bangkrut, merebak ke ruang publik. Pasalnya, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi pada ribuan orang, dan akan terus terjadi ke depannya dengan potensi kredit macet bagi puluhan smelter seakan tidak bisa terelakan.
Pihak kalangan industri smelter di bawah Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handoyo, telah menuding bahwa ini terjadi karena kebijakan Pemerintah yang tidak konsisten dalam menerapkan UU Minerba. Pendapat itu pun diamini oleh Dirjen Industri Logam ILMATE Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Saryawan, yang juga menyatakan, "penyebabnya pembukaan keran eskpor mineral mentah membuat harga nikel di pasar global jatuh, sehingga berdampak terhadap pengolahan dan pemurnian di dalam negeri menjadi tidak ekonomis" pada (21/7/2017).
Akan tetapi, bantahan berbeda datang dari Kementerian ESDM (22/7/2017). Melalui Kepala Biro Layanan Informasi kerja sama dengan Sudjatmiko, mengatakan, bukan PP Nomor 1 Tahun 2017 penyebabnya. Lebih jauh dia menegaskan bahwa PP itu semangatnya untuk mendorong dan mempercepat peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiataan pengolaan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri. Dan, kebijakan ekspor yang dikeluarkan Kementerian ESDM hanya mengisi 7% dari kebutuhan dunia berdasarkan informasi United State Geology Survey ( USGS). Terjadi kelebihan suplai akan bahan baku nikel, sehingga berakibat pada jatuhnya harga global jatuh. Dan, pada proses ekspor sekarang ada tim verifikator dari berbagai institusi, sangat diseleksi ketat soal persyaratannya. Bahkan adanya masalah dengan harga kokas yang tinggi dalam memproduksi nikel ikut menyumbang ketidakefisienen itu.
Menanggapi itu, saya berkomentar bahwa Kementerian ESDM telah salah paham memaknai isi dan maksud semangat dibuatnya UU Minerba Nomor 2009. Bahkan rilis yang dikeluarkan oleh kepala biro itu tak lebih dari sekedar ingin cuci tangan dan terkesan membodohi rakyat, daripada ingin menyelesaikan permasalahan mendasar di sektor hilirisasi industri mineral yang sudah terjadi dan ancaman kerugian miliaran dollar sudah dirasakan langsung oleh mereka.
Bukankah akibat keran ekspor dibuka, walaupun hanya 7%, dari Indonesia, pastinya akan berakibat kelebihan pasokan di pasar? Sangat wajar dalam teori ekonomi kalau kelebihan pasokan tentu mengoreksi harga jual menjadi jatuh. Anehnya, Pemerintah bukannya mencari jalan keluar dengan menyetop kran ekspor dan melindungi mereka, para pengusaha yang taat terhadap UU Minerba, dan dengan penuh resiko pinjam ke lembaga perbankan untuk membangun smelter itu. Tetapi, malah getol merubah PP dan Permen ESDM yang jelas bertentangan dengan UU Minerba. Bahkan sejak tanggal 3 April 2017 sudah terdaftar proses gugatan di Makamah Agung oleh koalisi penyelamat sumber daya alam yang dimotori oleh Dr Ahmad Redi SH dkk. Kebetulan saya salah satu yang ikut di dalamnya sebagai penggugat.
Pertanyaan kritis dan bodoh sangat pantas dilayangkan kepada KESDM, mengapa data USGS dijadikan acuannya? Mengapa bukan berdasarkan acuan Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral yang setiap tahun dirilis KESDM sebagai dasar kebijakan Pemerintah? Neraca itu hasil tim gabungan Badan Geologi dan Ditjen Minerba dan Pusat Data dan Informasi KESDM, dikeluarkan atas nama Kementerian ESDM.
KESDM tidak boleh mengingkari data neraca yang dibuat dan dirilis sendiri untuk dijadikan dasar acuan. Karena kalau salah acuan, akan terjadi selisih atau kesalahan angka di dalam neraca potensi mineral logam ikutan, seperti Kobal dan Magnesium sebagai mineral ikutan Nikel yang kita jual. Sehingga, Nikel tercatat dalam neraca setiap transaksi menjadi berkurang. Tetapi, tidak menghitung mineral ikutan yang berharga lainnya yang ikut terbawa kalau dieskpor kalau belum dimurnikan.
Tentu, dalam neraca mineral ikutan (Kobal dan Magnesium) tetap utuh dan tidak berkurang. Padahal faktanya sudah berkurang di lapangannya. Demikian juga seperti Timah, kita termasuk eksportir terbesar di dunia. Apakah pejabat KESDM dengan adanya mineral Monasit yang mengandung Uranium dan Xenotim sebagai mineral ikutan Timah ada datanya di Neraca? Seharusnya tercatat juga. Pertanyaannya, dikemanakan semua itu???
Padahal di Neraca tercantum, ada potensi Kobal dan Magnesium sebagai ikutan di dalam Nikel. Dan, kandungan Uranium, Thorium, Logam Tanah Jarang pada pasir Timah harusnya itu adalah potensi bahan ikutan yang sudah tercatat sebagai harta Negara pada Neraca tersebut.
Pertanyaan berikutnya adalah, darimana sumber Smelter di Thailand yang selama ini selalu mendapat suplai mineral Monasit yang mengandung Uranium dan Xenotim? Padahal kita tidak pernah resmi mengekspornya. Apakah ini bukan praktek penyelundupan pasir timah seperti yang sangat marak selama ini di daerah pulau Bangka dan sekitarnya? Apakah potensi mineral yang diseludupkan itu ada perubahannya dalam Neraca di KESDM?
Itulah latar belakang mengapa kami sudah sejak awal bersuara nyaring. Pentingnya Pemerintah konsisten menerapkan ketentuan UU Minerba dengan konsekwen ke semua pihak, dengan adil, dimulai tahun 2014 yang merupakan batas akhir boleh mengekspor mineral logam yang belum dimurnikan. Bahkan, kami berkesimpulan bahwa semua kunci permasalahan adalah ketidakkonsistenan Pemerintah terhadap penerapan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009, yang memancing publik curiga ada sejumlah materi akan diperoleh oleh penentu kebijakan. Terbukti meruaknya "kasus papa minta saham", karena faktanya segala cara selalu dilakukan oleh Pemerintah dengan merubah PP dan Permen ESDM. Tujuannya hanya untuk meloloskan kepentingan PT Freeport Indonesia dan PT Newmont, bukanlah kepentingan nasional dibaca oleh publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Pemerintah, yang jelas bertentangan dengan isi dan maksudnya dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 soal status pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK). Anehnya, betapa gagal pahamnya Pemerintah, memberikan status IUPK kepada PT Freeport Indonesia dan PT Aman Mineral Sumbawa, yang masih dibolehkan ekspor konsentrat sampai 5 tahun ke depan
Menurut saya, telah terjadi sesat pikir di Kementerian ESDM soal pemahaman ini. Bahkan, kalau dilihat dari waktu ke waktu sejak UU Minerba digulirkan, perubahan PP Nomor 1 Tahun 2017 ini merupakan perubahan ke 4 dari PP Nomor 23 Tahun 2010. Dan, perubahannya selalu diterbitkan di saat akan perpanjangan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia dan PT Aman Mineral Sumbawa (ex Newmont).
Mengingat korban sudah berjatuhan, baik pengusaha smelter dan pemilik IUP Operasi Produksi, dan seluruh karyawan pekerja, dan pihak-pihak terkait karena dampak turunannya. Sebaiknya Pemerintah Jokowi harus berjiwa besar, mengoreksi kekeliruan yang nyata oleh pembantunya di KESDM, yang telah gagal menyukseskan program idustrilisasi mineral logam berharga sesuai pesan konstitusi.