Menurutnya, tanggung jawab pembayaran sepenuhnya berada di pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola proyek, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Danantara).
“Dividen BUMN cukup untuk membayar angsuran utang kereta cepat. Ini bukan urusan APBN,” tegas Purbaya.
Proyek KCJB diketahui menelan biaya sekitar US$7,26 miliar atau setara Rp119,79 triliun, dengan mayoritas pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank.
Rencana Restrukturisasi Utang
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengonfirmasi bahwa Indonesia dan China telah menyepakati restrukturisasi pembiayaan proyek KCJB.
Salah satu opsi yang dibahas, menurutnya, adalah memperpanjang masa pelunasan hingga 60 tahun untuk mengurangi tekanan keuangan jangka pendek.
“Kemarin kita bicara dengan Kementerian Keuangan, tidak ada masalah, karena kalau kita restructuring 60 tahun, itu jadi lebih kecil,” ujar Luhut dalam acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran pada Senin, 20 Oktober 2025.
Langkah restrukturisasi ini diharapkan dapat menjaga keberlanjutan proyek strategis nasional sekaligus memastikan manfaatnya dirasakan masyarakat tanpa membebani keuangan negara.**
Artikel Terkait
China Akhirnya Buka Suara soal Utang Whoosh, Janji Tetap Lanjutkan Kerja Sama dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Mahfud MD Desak KPK Usut Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Soroti Biaya 3 Kali Lipat dari China
Isu Perang Dingin Purbaya vs Luhut: Beda Pandangan soal Utang Whoosh hingga Rencana Family Office Pemerintah
Masih tentang Rencana Whoosh ke Surabaya, AHY Bicara Soal Utang, Pemerataan, dan Manfaat bagi Kawasan Transit
KPK Respons Kritik Mahfud MD soal Dugaan Mark Up Whoosh: Kami Tak Menunggu, Aktif Cari Informasi Sendiri
Whoosh: Transparansi Tak Cukup Retorika, Saatnya Audit Forensik dan Reformasi Pengadaan Proyek Nasional