Jakarta, Klikanggaran.com (27-08-2019) - Panjar Kerja (PK) adalah dana yang dibayarkan kepada penerima PK sebagai dana yang akan digunakan untuk keperluan pelaksanaan operasional perusahaan. Dalam rangka pelaksanaan operasional perusahaan yang efektif dan efisien, PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) telah menetapkan Pedoman Nomor 007/PPN000.220/PDM yang mengatur mengenai pengelolaan pengeluaran yang dilakukan melalui panjar kerja agar pelaksaannya tepat waktu dan tepat guna dengan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas, transparansi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, pengajuan panjar tidak melalui persetujuan Direktur Utama (Dirut) sebesar Rp18.686.231.895,00 dan tidak dapat diyakini kebenaran pertanggungjawabannya sebesar Rp361.562.500,00 atau rawan disalahgunakan.
Berdasarkan data yang dihimpun Klikanggaran.com, besarnya PK yang dapat diajukan oleh penerima PK adalah sama atau kurang dari Rp50.000.000,00. Pengajuan PK yang jumlahnya melebihi Rp50.000.000,00 harus melalui persetujuan Direktur Utama, namun dalam praktiknya PT PPN tidak demikian. Persetujuan atau dispensasi pengajuan PK dapat dilakukan secara kolektif. Satu surat/memo dapat digunakan untuk persetujuan atau dispensasi pengajuan PK beberapa penerima PK.
Untuk diketahui, dokumen pengajuan PK diketahui terdapat pengajuan PK dengan nilai diatas Rp50.000.000,00 yang tidak melalui persetujuan Direktur Utama dengan jumlah pengajuan sebesar Rp18.686.231.895,00.
Berdasarkan informasi Direktur Utama PT PPN, surat persetujuan atau dispensasi pengajuan PK yang dikeluarkan oleh manajemen PT PPN adalah Surat No.S2PPN3513/2016/0592 tanggal 29 April 2016, yang dikeluarkan oleh GM Region II dan Surat No. S0PPN351/2017/367 tanggal 19 Juni 2017, yang dikeluarkan oleh GM Region II. Selanjutnya, pertanggungjawaban PK harus segera disampaikan oleh penerima PK ke Fungsi Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
penyelesaian pekerjaan (due date).
Pertanggungjawaban PK wajib melampirkan bukti-bukti pengeluaran yang sah atas permintaan PK yang telah dibelanjakan, seperti invoice dan kuitansi bermaterai cukup, bukti pengeluaran yang sah lainnya, bukti selesai pekerjaan, bukti barang telah terima dan faktur pajak (jika ada). Selanjutnya Fungsi Corporate Controller dan Fungsi Human Capital bersama-sama melakukan verifikasi atas bukti pertanggungjawaban yang disampaikan oleh penerima PK.
Mirisnya, bukti pertanggungjawaban PK yang tidak melalui persetujuan Direktur Utama diketahui masih terdapat pertanggungjawaban PK yang tidak dapat diyakini kebenarannya sebesar Rp361.562.500,00. Dari
pertanggungjawaban yang disampaikan tersebut, masih terdapat pertanggungjawaban perjalanan dinas yang belum ada bukti pertanggungjawabannya, bukti perbaikan mobil tangki yang menggunakan bon/kuitansi yang tidak dapat diyakini kebenarannya, dan rincian pembayaran tol beserta bukti pembayarannya yang tidak dilampirkan.
Selain itu, terdapat bukti pertanggungjawaban yang sampai dengan pemeriksaan berakhir tanggal 1 Agustus 2018 tidak disampaikan kepada BPK. Permintaan atas dokumen pertanggungjawaban telah disampaikan oleh BPK kepada Pjs. Direktur Utama PPN Nomor 13/ST-184/PDTT-PPN/07/2018 tanggal 09 Juli 2018 melalui Fungsi Internal Audit.
Hal tersebut jelas sekali mengakibatkan pengajuan PK di atas Rp50.000.000,00 tanpa melalui persetujuan Direktur Utama sebesar Rp18.324.669.395,00 rawan disalahgunakan dan pertanggungjawaban PK sebesar Rp361.562.500,00 tidak dapat diyakini kebenarannya.