Meski begitu, ia mengakui Whoosh memiliki manfaat positif dalam mempersingkat waktu tempuh dan memperkuat konektivitas antarwilayah. Namun, menurutnya, kebijakan berbasis utang memerlukan persiapan dan pertimbangan matang agar tidak membebani keuangan negara di masa depan.
“Orientasi atau pertimbangan untuk mengeluarkan kebijakan yang ada dampak jangka panjangnya, apalagi utang, itu harus rigid bener tuh persiapan dan kajiannya,” tegas Almas.
Polemik Utang dan Pembengkakan Biaya
Sebelumnya, Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), mengungkapkan bahwa proyek Whoosh semula ditawarkan oleh Jepang dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sementara China menawarkan 5,5 miliar dolar AS.
Namun, angka itu kemudian naik menjadi 6,07 miliar dolar AS, dan bahkan membengkak hingga 7,27 miliar dolar AS karena adanya cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Dari total biaya tersebut, 75 persen bersumber dari pinjaman China Development Bank, dan 25 persen dari modal pemegang saham, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).
Baca Juga: Inilah Alasan Anthony Ginting Absen di Australia Open 2025, PBSI Hormati Keputusan Demi Keluarga
Saat ini, pemerintah melalui Danantara tengah menegosiasikan restrukturisasi pembayaran utang agar diperpanjang dari 40 tahun menjadi 60 tahun.
Konteks Politik dan Tanggung Jawab Negara
Polemik utang Whoosh mencuat setelah Dirut PT KAI Bobby Rasyidin menyebutnya sebagai “bom waktu”, sementara Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang tersebut tidak akan dibayar melalui APBN.
ICW menilai dinamika ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar setiap proyek strategis nasional memiliki kajian risiko dan keuangan yang transparan sejak awal.**