resensi

Bahasa Remaja sebagai Identitas Sosial dalam Novel dan Film Mariposa: Tinjauan Sosiolinguistik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:37 WIB
Ilustrasi (dok)

KLIKANGGARAN -- Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga penanda identitas sosial, relasi antartokoh, serta nilai budaya remaja urban yang berkembang.

Hal inilah yang menarik ketika membandingkan bahasa dalam novel Mariposa karya Luluk HF dengan film adaptasinya yang disutradarai oleh Fajar Bustomi.

Novel Mariposa memanfaatkan narasi batin dan dialog tertulis untuk menyampaikan dinamika bahasa remaja.

Dialog antar tokoh, istilah sehari-hari, serta cara ungkapan kecemasan dan rasa cinta tercatat secara eksplisit melalui kata-kata yang digunakan tokoh seperti Acha dan Iqbal.

Dalam novel, pemilihan bahasa tokoh mencerminkan identitas sosial mereka status sekolah, tempat tinggal, dan relasi antar teman sebaya yang memberi pembaca gambaran lebih kaya tentang konteks sosial remaja Indonesia.

Hal ini sejalan dengan kajian bahasa yang menunjukkan bahwa penggunaan ragam bahasa mencerminkan posisi sosial dan kelompok sosial tertentu dalam masyarakat.

Sementara itu, film Mariposa harus menyampaikan bahasa remaja dalam bentuk bahasa lisan yang dibawa oleh aktor di layar, ditambah dengan visual dan ekspresi nonverbal.

Dalam peralihan medium ini, beberapa ekspresi linguistik ditransformasikan menjadi intonasi, gestur, dan konteks visual lain yang memperkuat makna tanpa harus melalui narasi panjang.

Karena keterbatasan durasi dan kebutuhan visual, film lebih sering menampilkan bahasa remaja yang dipadatkan menjadi dialog ringkas, istilah populer, serta bahasa tubuh yang menggantikan detail naratif di novel.

Efeknya, kekayaan ragam bahasa dalam novel yang menunjukkan identitas sosial tokoh tereduksi, memberi ruang bagi penekanan pada suasana romantis dan estetika visual alih-alih ekspresi batin yang kompleks.

Dari sudut sosiolinguistik, perbedaan ini mencerminkan bagaimana media berbeda memengaruhi cara bahasa dipakai untuk menegaskan identitas sosial dan relasi tokoh.

Dalam novel, bahasa bukan sekadar alat naratif, tetapi juga penanda status emosional dan hubungan sosial misalnya ungkapan resah, keraguan, atau solidaritas antartokoh yang bisa dijelaskan pembaca melalui pola kata dan struktur dialog.

Dalam film, meskipun tetap ada dialog bahasa sehari-hari, konteks sosial lebih sering disampaikan melalui visual kehidupan sekolah, ekspresi wajah, serta bahasa tubuh, sehingga penonton memahami identitas tokoh bukan hanya melalui ujaran, tetapi juga konteks visualnya.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa perubahan medium dari teks tertulis ke audiovisual tidak hanya menyederhanakan narasi, tetapi juga mengubah cara bahasa digunakan dan dipahami dalam konteks sosial.

Halaman:

Tags

Terkini