Pada Pilkada DKI 2017 ini instink politik Parpol demikian tajam, terbukti dengan tersingkirnya beberapa calon yang kasak-kusuk minta dukungan. Parpol sangat selektif memilih figur untuk diusung sebagai calon, tidak terpengaruh pendekatan bakal calon, mewaspadai calon-calon yang nampak ambisius menawarkan diri untuk diusung sehingga didapatkan figure yang tidak ambisius untuk menjadi gubernur.
Insya Allah Pilkada DKI adalah Pilkada politic low cost untuk para calon karena: sedikit uang yang dihamburkan untuk sosialisasi, untuk belanja spanduk dan baleho yang ditempel dan digantung di arena publik yang mengganggu pemandangan. Mungkin juga tidak ada tim sukses atau tim apa pun yang menghabiskan uang, justru akan muncul relawan murni yang tidak perlu dikasih duit.
Fenomena pembelajaran politik lainnya yang dapat dipetik dari Pra Pilkada DKI adalah bahwa black campaign dengan mengusung issue agama, ras, fitnah korupsi, dan lain-lain ternyata tidak laku, bahkan sebaliknya menguntungkan pihak yang diterpa issue karena simpati semakin mengalir.
Manuver politik yang indah juga disuguhkan oleh relawan Petahana. Coba kita lihat bagaimana proses Ahok selaku petahana dicalonkan lagi, diawali dengan kegiatan komunitas sahabat atau kawan Ahok mengumpulkan tanda tangan untuk mendesak agar Ahok mau dicalonkan lewat jalur independent. Di tengah proses pengumpulan tanda tangan Partai Nasdem yang naluri politiknya cukup peka dan tajam langsung menyatakan bahwa Nasdem akan mencalonkan Ahok, disusul oleh Hanura.
Saat tanda tangan terkumpul satu juta lebih! Golkar menyusul menyatakan dukungan pada Ahok, dan di saat-saat terakhir menyusul PDIP juga mencalonkan Ahok dan Djarot. Komunitas Pendukung Ahok memainkan politik yang cantik karena dengan terkumpulnya Photo copy KTP lebih dari satu juta menjadi kartu trof bagi Ahok punya posisi tawar yang tinggi dengan Parpol, dan terbukti dukungan Parpol dari Nasdem, Hanura, Golkar, dan PDIP didapatkan oleh Ahok tanpa syarat. Dengan demikian dapat diyakini bahwa dukungan Parpol pada Ahok adalah clear dan clean jauh dari money politik.
Demikian juga tidak kalah menarik proses penentuan calon pasangan Agus Harimurti oleh Partai Demokrat dan koalisinya yang bebas dari money politik karena pinangan bukan berasal dari Agus Harimurti tapi justru dari partai pengusung. Dan, Agus Harimurti bukanlah kader Parpol tertentu, dia non Parpol, dia juga tidak mengkampanyekan diri untuk dipilih sebagai calon. Saat dia diumumkan sebagai calon yang akan diusung juga masih berstatus Pamen TNI-AD aktif, pastilah penentuan Agus Harimurti sebagai calon oleh Parpol pengusung tanpa mahar politik, apalagi yang dijadikan pasangannya Silviana, bukan juga kader Parpol. Hal serupa terjadi pada pasangan Anies Baswedan dan Sandiago Uno.
Jadi, penentuan pasangan calon yang akan diusung oleh Parpol/Gabungan Parpol murni hasil penjaringan dan hasil kerja Parpol yang proaktif.
Tidak ada uang apa pun yang dikeluarkan para bakal calon untuk dapatkan Parpol pengusung. Tidak ada jual beli suara. Calon tidak keluar biaya berlebihan untuk berbagai keperluan alat sosialisasi seperti pasang spanduk, baliho, dan lain-lain. Calon yang diusung Parpol adalah benar-benar figur yang bersih, tidak ambisius, tidak ada kepentingan lain selain untuk mengabdi.
Rakyat tidak mau menjual suaranya. Ada keberanian Parpol, calon, rakyat untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum; KPK/ Polri/ Jaksa/ KPUD apabila ada pihak yang mencoba untuk bermain uang. Penyelenggara Pilkada harus adil, bersih, transparan, berani menindak setiap pelanggaran.
Semua komponen harus beritikad dan berkemauan untuk menyukseskan Pilkada, insya Allah akan menghasilkan kepala daerah yang sesuai aspirasi rakyat, bukan kepala daerah yang mencari duit dengan jabatan, memperkaya diri bersama konco-konco atau KKN, yang pada gilirannya ditangkap KPK.
“Semoga terwujud." tandasnya.