politik

MK Tolak Uji Formil UU TNI, Namun 4 Hakim Kritik Minimnya Keterbukaan Publik dan Desak Revisi dalam 2 Tahun

Kamis, 18 September 2025 | 20:03 WIB
Mahkamah Konstitusi tolak uji formil pada UU TNI ((Instagram/mahkamahkonstitusi))


(KLIKANGGARAN) – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Putusan itu dibacakan melalui perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 pada Rabu, 17 September 2025, di Gedung MK.

Dalam amar putusan, Hakim MK Guntur Hamzah menyebut proses pembentukan UU TNI tidak bertentangan dengan konstitusi, sehingga tetap sah dan mengikat.

Namun, keputusan ini tidak diikuti secara bulat. Empat hakim memberikan dissenting opinion dengan alasan UU TNI masih cacat formil dan butuh revisi maksimal dua tahun.

Baca Juga: Pemerintah Spanyol Ancam Boikot Piala Dunia 2026, Israel Masih Punya Kans Lolos dari Grup I Kualifikasi Zona Eropa

Mereka yang berbeda pendapat adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Arsul Sani, dan Enny Nurbaningsih.

Suara mereka kalah dari lima hakim yang mendukung penolakan uji formil, yakni Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, Daniel Yusmic P. Foekh, Anwar Usman, dan Arief Hidayat.

Alasan Uji Formil UU TNI

Sejak awal, pembahasan revisi UU TNI pada Maret 2025 telah menuai kritik. Koalisi masyarakat sipil menilai prosesnya tertutup, tidak masuk Prolegnas Prioritas 2025, serta minim akses publik terhadap dokumen revisi baik dari DPR maupun pemerintah.

Baca Juga: Disporapar Lutra Gelar Pertemuan, Bahas Formulasi Napak Tilas Religi di Kompleks Makam Datuk Pattimang

Gelombang aksi sempat muncul karena adanya kekhawatiran TNI terlalu dilibatkan dalam urusan sipil, padahal mandat utamanya adalah pertahanan negara.

Suara 4 Hakim dengan Dissenting Opinion

Suhartoyo menegaskan pentingnya partisipasi publik.


“Permohonan para pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” katanya. Ia menambahkan, “Sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan perkara ini diucapkan dengan dipenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.”

Baca Juga: Merebak 6 Kasus Keracunan Siswa dalam Program MBG, Ratusan Korban Dirawat hingga Jadi Alarm Serius Soal Standar Kebersihan

Halaman:

Tags

Terkini