peristiwa-internasional

Utang BRI China Kian Berat, Negara Pengutang Berani Batalkan Proyek Lho, Bagaimana dengan Indonesia?

Rabu, 6 Oktober 2021 | 12:57 WIB
Proyek pembangunan infrastruktur BRI China (zerohedge)

KLikanggaran.com-- Belt and Road Initiative (BRI) China menghadapi penentangan yang meningkat dari negara-negara yang berpartisipasi karena utang mereka yang terkait dengan proyek-proyek China meningkat, menurut sebuah studi baru-baru ini.

Diluncurkan pada tahun 2013 oleh pemimpin China Xi Jinping, BRI mungkin kehilangan dorongannya karena reaksi berbasis utang, menurut sebuah studi dari AidData, laboratorium penelitian di William & Mary's Global Research Institute.

Studi ini menganalisis 13.427 proyek yang didukung BRI China di lebih dari 165 negara selama 18 tahun. Nilai total proyek mencapai $843 miliar.

Baca Juga: Pernah Sesumbar Ramalkan Kematiannya, Eh.. Diterpa Isu Meninggal Roy Kiyoshi Ngamuk

AidData menemukan bahwa 35 persen proyek BRI berurusan dengan masalah implementasi, “seperti skandal korupsi, pelanggaran perburuhan, bahaya lingkungan, dan protes publik.”

Dilansir Zerohedge, Brad Parks, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan “semakin banyak pembuat kebijakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menghentikan proyek-proyek BRI profil tinggi karena masalah harga yang terlalu mahal, korupsi, dan keberlanjutan utang.”

Ekspansi global

BRI—yang berfungsi sebagai alat untuk ekspansi global Partai Komunis China (PKT)—membiayai pinjaman yang sangat besar kepada negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur.

Baca Juga: Hanya 9 Negara Lho yang Memiliki Senjata Nuklir, Bagaimana dengan Indonesia? Punyakah?

Proyek-proyek yang mencolok telah digambarkan sebagai bagian dari apa yang disebut diplomasi perangkap utang karena pinjaman yang seringkali tidak dapat dibayar akan memaksa negara-negara tersebut untuk membayar kembali China dengan barang atau tanah.

Bank-bank milik negara China memberikan pinjaman kepada negara-negara yang hampir tidak mampu mereka bayar. Pinjaman tersebut kemudian digunakan untuk membayar perusahaan China dalam rangka membangun infrastruktur, termasuk pembangunan jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, tambang, telekomunikasi, atau lembaga perbankan.

Ketika negara-negara tersebut tidak mampu membayar, mereka harus memberikan aset China seperti hak eksploitasi jangka panjang untuk sumber daya alam, atau sewa infrastruktur yang dibangun menggunakan pinjaman.

Baca Juga: Kadinsos Gorontalo Dipecat, Salah Satunya Terkait Kemarahan Risma

Menurut laporan AidData, 42 negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki eksposur utang publik ke China yang melebihi 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Halaman:

Tags

Terkini