Mengurangi Nilai Temuan BPK pada Pembangunan Jembatan VIII STA Sama Halnya Melawan Hukum

photo author
- Senin, 11 Desember 2023 | 20:30 WIB
Pengamat Kebijakan Publik, Ratama Saragih  (Klikangggaran/Iyan_L)
Pengamat Kebijakan Publik, Ratama Saragih (Klikangggaran/Iyan_L)

KLIKANGGARAN -- Mengurangi nilai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) adalah perbuatan melawan hukum, apalagi menguranginya dengan tidak sepengetahuan BPK dengan menggunakan jasa auditor lembaga yang tak jelas dasar hukumnya. Pernyataan tersebut dilontarkan koresponden BPK, Ratama saragih, yang menanggapi polemik di Kota Pematang Siantar.

Dikatakan Ratama, LHP yang dikeluarkan oleh BPK adalah bagian dari rangkaian pemeriksaan keuangan negara yang sumber hukumnya adalah hukum formil sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G unang-undang Dasar (UUD) 1945, bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri.

"LHP BPK merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan yang didasarkan pada kriteria, yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan efektivitas sistem pengendalian intern," ujar Ratama melalui keterangannya pada Klikangaran.com, Senin (11/12).

Lanjut dikatakan Ratama, pada pasal 35 ayat (1) Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 59 ayat (2) Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TanggungJawab Keuangan Negara, adalah sebagai dasar untuk mengkaji subtansi tentang timbulnya kerugian keuangan negara sebagai kaidah hukum di dalam LHP yang dimaksud.

"Wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian  keuangan negara pada hakekatnya berada pada BPK dalam arti lembaga pemeriksa keuangan maupun akuntan lain tidak berwenang menetapkan jumlah kerugian keuangan negara tanpa menggunakan atau atas nama BPK sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang BPK," jelasnya.

Ratama menambahkan, bahwa pada putusan Mahkamah Agung nomor 946K/PDT/2011 tanggal 23 Agustus 2011 menguatkan bahwa penetapan jumlah kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang juga sebagai sumber hukum dalam arti formil sebagai bentuk yurisprudensi.

"Dengan demikian, jika penyidik tak menggunakan hasil pemeriksaan yang dikeluarkan oleh BPK tanpa sepengetahuan BPK, apalagi menggunakan jasa lembaga pemeriksa dan/atau akuntan lain yang menerbitkan hasil pemeriksaan dengan nilai kerugian yang berbeda dengan BPK, padahal entitas pemeriksaan sama maka itu sudah perbuatan melawan hukum selain maladministrasi," ujar pemilik sertifikat Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Keuangan Negara ini.

Ratama melanjutkan, sejatinya kasus ini harus di monitoring dan di evaluasi oleh pejabat di atasnya, bahkan bila perlu menarik perkaranya ke jenjang lebih tinggi lagi di Provinsi atau di Pusat untuk segera ditelaah duduk perkaranya, karena kerugian negaranya sangat fantastis.

"KPK jangan tutup mata, karena nilai kerugiannya besar, kredibilitas KPK dipertaruhkan dalam hal mengungkap kasus korupsi ini. Tak patut jika Kejaksaan Negeri Pematang Siantar menutup kasus ini, karena ada kejanggalan dalam proses penyelidikan, sepatutnya kasus ini sudah ketahuan oleh Tim Jamwas Kejagung ketika melakukan minitoring ke Kejati SU dan Kejari Kab/kota," tandas pemegang sertifikat Survei Pengukuran Indeks Indikator Kinerja dan PMPRB Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2023 ini.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X