Jakarta,Klikanggaran.com - Salah satu kegiatan utama PTPN VIII adalah pengusahaan budidaya tanaman meliputi pembukaan dan pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemungutan hasil tanaman serta melakukan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengusahaan budidaya tanaman tersebut. Sampai dengan desember 2017 PTPN VIII telah memanfaatkan 70.651 Ha atau 62,00% dari total areal konsesi 113.958.34 Ha untuk budidaya beberapa jenis tanaman dan sisanya untuk keperluan lain.
Untuk menunjang keberlangsungan budidaya tanaman tersebut, penguasaan areal baik secara fisik maupun legal mutlak dilakukan oleh perusahaan agar tindakan okupasi lahan yang dapat menghambat operasional perusahaan tidak semakin meluas.
Dari total areal okupasi lahan seluas 3.516.71 Ha, diketahui bahwa 18,73% terjadi pasa areal yang belum memiliki sertifikat 22,16% terjadi pada areal yang bersertifikat namun sudah tidak berlaku lagi dan 59,12% terjadi pada areal yang bersertifikat dan masih berlaku.
Pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Nomor:40/Auditama VII/PDTT/10/2015 tanggal 12 oktober 2015 atas penglolaan Lahan tahun 2012, 2013 dan 2014, telah dsampaikan permasalahan tentang areal yang belum bersertifikat seluas 33.466.61 Ha dan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) seluas 36.149.17 Ha sehingga PTPN VIII terbebani Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) minimal sebesar Rp290.041.497.740.00 yang disebabkan oleh kendala masalah keuangn/faktor kesiapan pembiyayaan.
Sebagai contoh pada tahun 2005 PTPN VIII tidak mampu untuk membayar uang pemasukan sebesar Rp1.864.321.000.00 dan BPHTB sebesar Rp69.515.964.414.00 ke Kas Negara atas pendaftaran SK HGU Nomor 14/HGU/BPN/05 seluas 11.730,88 Ha serta belum adanya sistem/alat untuk memantau/memonitor masa berlaku HGU sehingga terkadang masih ada yang terlewat untuk dimohon.
Berdasarkan data areal per April 2018, diketahui bahwa dari seluruh areal koneksi PTPN VIII seluas 113.958,34 Ha 40.51% atau 46.163,43 Ha bersetifikat dan masih berlaku 31,81% atau 36.252.24 Ha bersertifikat namun sudah tidak berlaku dan 27.68% atau 31.542,67 Ha belum berserifikat pengurangan areal yang belum bersertifikat karena terbitnya SHGU Nomor 88 tahun 2016 dan Sertifikat Hak Penglolaan Lahan (SHPL) Nomor 5 s.d 23 tahun 2018 atas areal Kebun Panglejar yang pada pemeriksaan 2015 belum bersertifikat. Sedangkan penambahan areal yang bersertifikat namun sudah tidak berlaku karena berakhirnya masa berlaku SHGU Nomor 2 pada 31 desember 2016 atas areal kebun Batulawang dan telah diajukan perpanjangan pada 24 September 2014.
Kemudian berdasarkan rencana anggaran pengurusan HGU, HPL, dan HGB tahun 2018 sampai dengan 2024 atas areal yang belum bersertifikat, areal yang bersertifikat, dan sudah tidak berlaku serta areal bersertifikat yang akan habis sampai dengan tahun 2022, diketahui bahwa PTPN VIII membutuhkan dana sebesar Rp.595.63 Milyar.
Luasanya lahan konsesi PTPN VIII yang belum bersertifikat maupun yang telah bersertifikat namun habis masa berlakunya menimbulkan potensi okupasi lahan semakin meluas. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang komprehensif agar pengurusan sertifikat lahan dapat dilakukan sesuai dengan rencana.
Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya risiko okupasi lahan milik PTPN VIII pada lahan yang belum bersertifikat maupun yang sudah bersertifikat namun habis masa berakhirnya.
Menanggapi hal tersebut, Humas PTPN VIII, Reza, menjelaskan bahwa temuan tersebut sudah dijelaskan secara detail ke BPK.
"Upaya yang dilakukan manajemen saat ini dalam penanganan okupasi lahan di antaranya adanya pogram PMDK (Pemberdayaan Masyarakat Desa Kebun), PTPN VIII bekerja sama dengan masyarakat desa yang wilayah administrasinya masuk ke wilayah kebun baik sebagian dan/atau seluruhnya dengan tujuan pengamanan lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandatory peraturan perundang - undangan yaitu fungsi BUMN yg mempunyai kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan," ujar Reza saat dikonfirmasi Klikanggaran.com, Selasa (7-1).
Reza juga menjelaskan, bahwa mekanisme kerjasama PMDK adalah memperbolehkan masyarakat untuk bercocok tanam di areal kebun (sepanjang arealnya masih tersedia dan lebih di utamakan yang sudah terjadi garapan liar tanpa mengganggu program PTPN VIII) sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi PTPN VIII, dengan syarat mengakui lahan tersebut milik PTPN VIII, terdapat kompensasi atas pemanfaatan lahan PTPN VIII dan sewaktu-waktu jika digunakan akan di ambil kembali.
"Adapun komoditas yg ditanam tidak sembarang, sebagai contoh di sepanjang hulu DAS Citarum, masyarakat dminta untuk menanam kopi (tanaman keras) dan di unit kerja kebun lain adapun yang ditanami hortikultura diwajibkan untuk menanam tanaman keras di areal yang curam (diatas 30 derajat)," kata dia.
Lanjutnya, reza juga menuturkan bahwa program tersebut sebagai solusi PTPN VIII dalam proses sertifikasi ke BPN dikarenakan dengan adanya pengakuan dan perjanjian (legalisasi) terhadap garapan liar.
"Maka syarat Clear and Clean pada proses Sertifikasi bisa tercapai dan potensi areal dikecualikan pada saat perpanjangan ataupun pembaharuan HGU bisa diantisipasi," pungkasnya.