Jakarta, Klikanggaran.com (10-07-2019) - Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan, Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai plastik, yang akan ditimpakan pada pelaku usaha, sebesar Rp200 per lembar atau Rp30.000 per kilogram. Tulus menilai rencana ini menimbulkan pro dan kontra, sebab kalangan pelaku usaha, bahkan Kementerian Perindustrian, menolaknya. Namun, jika merujuk pada dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan, baik bagi penggunanya, orang lain, dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai.
Diperkirakan, kata Tulus, menurut data Bank Dunia (2018), sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia. Dan tragisnya, Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah China.
"Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan. Oleh karenanya, jika tidak ditanggulangi secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua," ujar Tulus pada Klikanggaran.com, Selasa (9/7/2019).
Namun demikian, lanjutnya, cukai bukanlah satu satu cara untuk menekan dan mengendalikan penggunaan dan konsumsi plastik. Tanpa disinergikan dengan kebijakan lain, alih-alih konsumsi plastik tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai yang tinggi pula.
Pertama, YLKI bisa memahami jika Kemenkeu akan menerapkan cukai pada plastik, tetapi dengan beberapa catatan, yakni, Kemenkeu harus menjamin bahwa tujuan utama penerapan cukai plastik bukanlah instrumen untuk menggali pendapatan negara. Jangan jadikan cukai plastik untuk menambal ketidakmampuan/kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak. Tetapi, cukai plastik adalah untuk instrumen pengendalian produksi dan konsumsi plastik, itu tujuan utama. Sedangkan pendapatan cukai hanyalah efek samping, sebagai bentuk “pajak dosa” (disinsentif) pada produsen dan bahkan konsumen.
Kedua, penerapan cukai plastik hanyalah masa transisi, ke depan produsen plastik harus mampu (wajib) membuat produk plastik yang benar-benar bisa diurai secara cepat oleh lingkungan, apa pun produk plastiknya. Setelah itu tercapai, cukai plastik harus dihentikan.
Ketiga, dana yang diperoleh dari cukai plastik, sebagian (10 persen) harus dikembalikan untuk upaya promotif dan preventif, misalnya secara edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengurangi konsumsi plastik. Konsumen punya tanggung jawab moral untuk mengedepankan pola konsumsi yang berkelanjutan, salah satunya mengurangi konsumsi plastik dan atau menggunakan plastik yang benar benar gampang diurai oleh air, tanah, dan lingkungan secara umum.