TDL, Naik, PLN Dalam Dilema?

photo author
- Senin, 2 Mei 2016 | 09:17 WIB
images_GAMBAR-BOHLAM-TERBAKAR
images_GAMBAR-BOHLAM-TERBAKAR

KlikAnggaran, Jakarta.- Selain memperingati Hari Buruh sedunia, May Day di Tanah Air kali ini ternyata harus diringi dengan kenaikan harga listrik. PT PLN (Persero) kembali menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL)/Tarif Dasar Listrik (TDL) 0,7% atau 11 sen per dolar untuk 12 golongan pelanggan pada Mei 2016 ini. Kenaikan tarif listrik dipicu kenaikan harga minyak, yang diimbangi penguatan nilai tukar rupiah. Rencana pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3% tahun ini pun nampaknya bakal menemui kegagalan (www.kemenkeu.go.id) (terus turun 10 dekade terakhir).

Benny Marbun (Kepala Divisi Niaga PLN) mengatakan, kenaikan ‎tarif listrik berlaku untuk tegangan rendah (TR) menengah (TM) dan tinggi (TT). Tarif Tegangan Rendah naik sebesar Rp 10  per kilo Watt hour (kWh). Tarif listrik golongan ini naik dari Rp 1.343 per kWh pada April menjadi Rp 1.353 per kWh di Mei. "Tarif listrik Mei rata-rata naik," ungkapnya di Jakarta, Minggu (1/5/2016).

Tarif TR adalah pelanggan dengan golongan  R1 dengan daya 1.300 VA, R1 2.200. Kemudian R2 dengan daya 3.500-5.500, R3 dengan daya 6.600 ke atas. Adapula B2 adalah pelanggan dengan daya 6.600 sampai 200 ribu VA, serta P1 dengan daya 6.600-200 ribu Va.

Sementara untuk tarif listrik dengan tegangan menengah (TM) naik Rp 8 per kWh, dari Rp 1.033 per kWh menjadi Rp 1.041 per kWh. Tarif TM bagi pelanggan B3 dengan daya listrik >200 kVA, I3/>200 kVA, P2/>200 kVA. Kemudian tarif listrik tegangan tinggi (TT)  naik Rp 7 per kWh, dari Rp 925 kWh menjadi  Rp 932 kWh. Tarif TT adalah pelanggan I-4 dengan daya 30 MVA ke atas.

Benny menjelaskan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menguat Rp 322 pada Maret 2016. Dari sebelumnya pada Februari, rupiah berada di posisi Rp 13.889, dan menjadi Rp 13.194 di Maret. Penguatan rupiah dinilai mampu menahan laju kenaikan tarif listrik yang juga terdampak kenaikan harga minyak bumi (ICP). Adapun harga minyak ICP naik US$ 5,27 per barel. Dari US$ 28,92 per barel pada Februari menjadi US$ 34,19 per barel pada Maret. Selain itu, faktor kenaikan inflasi yang juga terjadi pada Maret 2016 mempengaruhi kenaikan tarif listrik. inflasi pada Maret tercatat naik 0,28 persen, dari -0,09 persen di Februari menjadi 0,19 persen (Liputan6.com).

Di era globalisasi ini, kebutuhan akan sumber daya listrik sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia di seluruh dunia. Di samping kebutuhan primer lainnya, listrik sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan setiap aktifitas manusia, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian dunia. Tanpa adanya sumber energi listrik, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.

Hampir semua kegiatan manusia di era modern ini, membutuhkan energi listrik. Mulai dari kegiatan perkantoran, pertokoan, pabrik/industri (skala kecil maupun besar), Mall, rumah tangga, bahkan aktifitas peribadatan pun memerlukan tenaga listrik. Sedemikian vitalnya energi yang satu ini, hingga manusia berusaha membangun pembangkit-pembangkit tenaga listrik dalam skala ukuran dan macam untuk memenuhi kebutuhan energi listrik mereka.

Di Indonesia, melalui UU No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, pemerintah telah mengamanatkan PLN sebagai satu-satunya BUMN Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) untuk memenuhi ketersediaan energi listrik. Dengan Undang-Undang ini, PLN bertindak untuk dan atas nama pemerintah Indonesia dalam melaksanakan fungsi pelayanan umum di bidang ketenagalistrikan (baik sosial maupun komersial).

Sebagaimana BUMN lainnya, PLN juga dibolehkan bahkan diharuskan untuk mencari keuntungan, meskipun tetap menjalankan fungsi sosial utamanya sebagai Public Services Obligation (PSO) dalam bidang ketenagalistrikan. Hal ini sesungguhnya terkait dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 2 ayat (1) yang menyatakan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang inti isinya adalah: Memberikan sumbangan bagi penerimaan dan perkembangan perekonomian nasional, mengejar keuntungan, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.

Dalam menjalankan dualisme fungsi yang jelas berbeda ini, PLN tentunya mengalami dilema tersendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di satu sisi ia harus memenuhi dan menyediakan kebutuhan listrik untuk masyarakat secara murah dan terjangkau, di sisi lain ia juga harus mengejar laba untuk memenuhi keuangan PLN dalam menjalankan program-program kelistrikan.

Persoalannya adalah jika kenaikan TDL/TTL industri mejadi satu-satunya cara untuk menutup defisit anggaran PLN yang selama ini digembar-gemborkan, maka sama saja menciptakan dilema baru terhadap situasi perekonomian nasional. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya pemerintah (PLN) tidak memiliki konsep pengelolaan listrik dan energi nasional yang matang dan terarah. Pengelolaan energi oleh pemerintah khususnya di bidang kelistrikan terlalu berorientasi pada aspek komersial semata. Pemerintah dinilai ”miskin konsep” pengelolaan energi nasional yang komprehensif dan sustainablel.

Mengapa? Sebab, dengan kenaikan TDL/TTL, tentunya kalangan rumah tangga dan industri (rumah tangga) akan menciptakan skema efisiensi ketat anggaran keuangan perusahaan, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Alih-alih PLN ingin menambal defisit keuangan, justru banyak indsurti yang gulung tikar, dan banyak karyawan yang dirumahkan. Jika itu yang terjadi, otomatis jumlah pengangguran baru akan bertambah. Angka kemiskinan pun semakin meingkat, yang pada gilirannya akan menambah beban negara dan menciptakan social cost yang tinggi.

Padahal, pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 saja, pemerintah telah menaikkan margin usaha PLN pada angka 7%. Kenaikkan margin usaha 7% itu mengasumsikan keuangan PLN yang makin membaik. PLN dapat membangun kebutuhan listrik dalam negeri, seperti pembangkit listrik, yang dibiayai melalui pasar.

Meski margin usaha PLN telah dinaikkan sebesar 7%, tetap saja kenaikkan TDL?TTL tidak surut. Alasannya sederhana, harga TDL/TTL PLN belum mencapai harga keekonomian. Pertanyaannya, apabila kenaikkan TDL/TTL telah diterapkan tapi belum juga mencapai harga keekonomian seperti yang diharapkan PLN dan pemerintah, apakah PLN akan menaikkan terus TDL/TTL bagi pelanggan rumah tangga maupun industri? Ataukah ada skema lain yang dilakukan oleh PLN? Lalu, patokan apa yang digunakan PLN untuk mengejar harga keekonomian tersebut, dan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ”harga keekonomian?” Kemudian, bagaimakah perhitungan margin usaha PLN dan biaya pokok listrik atau harga pokok produksi (HPP) listrik per KWh?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Abdullah Taruna

Rekomendasi

Terkini

X