(KLIKANGGARAN) – Isu pengampunan pajak atau tax amnesty kembali memanas setelah RUU Tax Amnesty masuk daftar panjang Prolegnas 2025–2029.
Namun, alih-alih diterima sebagai kebijakan populer, rencana tersebut justru mendapat kritik keras. Penolakan datang dari Menteri Keuangan (Menkeu) RI Purbaya Yudhi Sadewa, hingga kalangan buruh yang menilai kebijakan ini hanya menguntungkan elite ekonomi.
Buruh: Beban Pajak Berat, Konglomerat Diampuni
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyuarakan penolakannya sekaligus mendukung langkah Menkeu Purbaya.
“Reformasi pajak. Kami minta PTKP naik menjadi Rp 7,5 juta. Sepertinya Menteri Keuangan Pak Purbaya merespons itu dengan baik, karena beliau juga menolak tax amnesty,” kata Said dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 24 September 2025.
“Kami juga menolak tax amnesty. Masa orang ngemplang pajak diampuni, kami buruh pajaknya tetap dibebani,” imbuhnya.
Said menekankan, jika PTKP dinaikkan, maka daya beli masyarakat meningkat, konsumsi domestik naik, dan pertumbuhan ekonomi terdorong. Narasi ini sejalan dengan pandangan Menkeu Purbaya yang lebih menekankan kepatuhan pajak ketimbang “jalan pintas” amnesti pajak.
Purbaya: Tax Amnesty Rusak Kredibilitas Pajak
Dalam pernyataannya, Menkeu Purbaya menilai pemberian tax amnesty secara berkala justru memberi sinyal buruk bagi wajib pajak.
“Kalau amnesty berkali-kali gimana jadi kredibilitas amnesty? Itu memberikan signal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar nanti ke depan-ke depan ada amnesty lagi,” ujarnya di Jakarta, Senin 22 September 2025.
Ia menegaskan lebih baik memperkuat pengawasan, menyederhanakan administrasi, serta meningkatkan tax ratio lewat pertumbuhan ekonomi dibanding mengulang kebijakan serupa.
"Makanya kalau tax amnesty setiap berapa tahun ya, sudah, nanti semuanya nyelundupin duit. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, kira-kira begitu jadi message nya kurang bagus," tegasnya.