KLIKANGGARAN -- Cerpen "Paman Martil" karya Pramoedya Ananta Toer membawa kita ke dalam konflik kekerasan politik dan pemberontakan di masa kolonial Indonesia.
Dengan tema perjuangan dan konflik ideologi sebagai pondasi, cerita ini mengeksplorasi berbagai karakter yang mencerminkan keteguhan dan keberanian dalam menghadapi penderitaan.
Artikel ini akan membahas unsur intrinsik dari cerpen “Paman Martil” dengan pendekatan Strukturalisme.
Cerpen ini mengangkat tema perjuangan dan konflik antara Sarekat Hijau dan kaum komunis, yang menjadi cerminan dari perjuangan keras pada masa itu.
Konflik politik yang melibatkan kekerasan fisik dan represi menjadi latar belakang yang mencekam bagi kisah tragis ini.
Paman Martil, tokoh utama dalam cerita, mewakili simbol perlawanan yang berani dan teguh dalam perjuangan politiknya.
Sementara Mariana Proletar, wanita setia dengan semangat perlawanan yang tinggi, dan dua bocah yang belajar menjadi kader komunis di bawah pengarahan Paman Martil, memberikan dimensi yang lebih dalam pada kisah ini.
Cerita ini berlangsung pada masa kolonial di Indonesia, terutama di daerah Priangan, Jawa Barat, pada tahun 1926-1927. Daerah ini dipenuhi dengan konflik antara Sarekat Hijau dan kaum komunis, yang menciptakan ketegangan politik yang berujung pada aksi kekerasan dan represi.
Dalam cerita ini, gaya bahasa realistis digunakan untuk mengekspresikan deskripsi yang mendetail, sementara simbolisme memberikan kedalaman pada narasi. Misalnya, deskripsi tentang “Paman Martil yang berselimutkan bendera merah palu-arit” menjadi gambaran kesetiaan terhadap nilai-nilai perjuangan.
"Paman Martil berhasil lolos. Tapi tak lama kemudian, serdadu-serdadu itu mendatangi rumahnya." (kutipan dalam cerpen)
Kutipan di atas memberikan contoh konkret bagaimana Paman Martil terlibat dalam konflik langsung dengan serdadu Sarekat Hijau.
Cerita ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga, yang memungkinkan pembaca untuk melihat peristiwa dari perspektif yang lebih luas dan objektif.
"Tiga orang Sarekat Hijau telah datang menunggunya. Paman Martil babak belur dihajar. Martilnya tak ampuh untuk menangkis serangan." (kutipan dalam cerpen)