"Mulutmu harimaumu", itu kata bijak. Mulut itu punya lidah, lidah itu tak bertulang. Mulut, selain ada gigi untuk mengunyah, punya lidah untuk mengecap, rongga faring untuk bernapas, juga ada laring yang mengandung pita suara untuk berbicara. Mau bicara apa saja, mulut tidak ada pantangan, hanya saja otak punya rasa kasihan untuk mengontrol permainan kata-kata yang diiringi oleh lidah. Saking hebatnya lidah, mulut tertutup pun masih bisa lompat-lompat. Coba!
Konon katanya, lidah lebih tajam dari pedang. Biar tidak asal nusuk, jangan omong sembarangan, bikin luka dan sengsara. "Lebih baik diam, karena diam itu emas. Sebab, hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Lagi pula diam itu bukan berarti dungu," Kata Mahbub Djunaidi. Tulis Mahbub, "Ada masa, tidak semua mulut itu dianggap jelek. Lihat-lihat mulutnya dulu, tidak bisa pukul rata. Mulut siapa yang jelek? "Perempuan? Bah. Kalau sebelah kakiku sudah di lubang kubur, barangkali baru bisa kupercaya omongan mereka itu, yang tak punya bakat seni ataupun politik," kata Nietzsche. Untungnya, di negeri kita ini ada bait nyanyian: "Terang bulan di kali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati." Dengan begitu menjadi tidak jelas lagi, siapa sebetulnya yang lebih lancung."
Perkara mulut, bukan soal jenis kelamin, bukan terkait kaya dan miskin, bukan perihal suku, ras, agama dan golongan, tapi soal mengontrol emosi dengan nalar sehat. Biasanya, perkataan mewakili pikiran, apa yang diucapkan berpotensi berbuah tindakan. Kerja otak, luapan kata-kata dan kegiatan fisik seharusnya sejalan dan selaras, kecuali kakek-nenek yang lupa perkataannya sendiri. Itu wajar, bisa dimaklumi.
Pertanyaan Budi saat diskusi, "Manakah yang lebih penting antara peranan mulut dan kerja badan?" Biasanya orang banyak cakap, sedikit kerjanya. Apalagi suka ada slogan "talkless do more". Lantaran hal itu, Jokowi-JK pun menyebut pemerintahannya Kabinet Kerja, artinya "sedikit bicara banyak kerja." Semua orang yang bermodal mulut saja tidak diperkenankan, kalau tidak, jadilah Butet Kertaradjasa menteri betulan daripada cuma jadi 'jongos' di Republik Sentilan-Sentilun, atau yang mulutnya terus berbusa, menyempit kesempatannya. Tengok bekas menteri koordinator kemaritiman itu, mulutnya agak tajam, daripada lama-lama nusuk kepala, mending dipotong lidahnya. Paling tidak, yang mulutnya tajam, tapi kerjanya tenggelam-menenggelamkan ya selamat di perahu kabinet.
Ada tapinya, kata KH Idham Chalid, yang benar bukan "sedikit bicara banyak kerja", melainkan "banyak bicara banyak kerja". Sebab, bicara saja tanpa kerja itu namanya beo. Bekerja saja tanpa bicara itu namanya maling.
Lantaran suka kerja, tidak banyak bicara, pemerintahan Jokowi-JK tidak suka penduduknya cerewet seperti kumpulan burung parkit, sebab cerewet itu berisik menyakitkan kepala. Apalagi cerewetnya menyangkut urusan orang lain, "Orang yang makan nangka, masa gua yang kena getahnya," ujar Pak Jokowi. "Lain soal kalau dia orang pakai parfum, gua kebagian wanginya," nyengir Pak Jokowi. Lah iya, masa Gubernur Jakarta yang dituduh menistakan agama, istana yang mau didemo, ya presiden Republik Indonesia pasti ogah. Beda kalau Ahok keruk kali seantero Jakarta, istana tak banjir, Pak Jokowi ikut menyengir.
"Lihat mulut Ahok, seperti tidak pernah disekolahkan," kata sebagian warga. "Ahok itu, cocotnya yang kita tidak tahan," tutur Budi. Budi sebenarnya senang dengan kinerja Ahok, kali-kali dikeruk dan dibeton, pelayanan birokrasinya cepat dan gratis, sekolah gratis pakai KJP, berobat gratis pakai KJS, busway-nya ibarat gadis masih perawan, anggota DPRD yang dulunya berjaya dibuat jadi tak berdaya, tapi sekali lagi mulutnya itu na'udzubillah. Lantas, Budi mulai menimbang-nimbang, apakah pilih burung beo yang gemar kerja atau mau cari sosok si maling Robin Hood. Dia juga masih mikir, apakah mau ikut demo anti Ahok lantaran mulutnya atau memilih berkantor pada hari kerja. Menurut pengakuanya, sepertinya Budi enggan turut demo 4 November karena itu urusan mulut Ahok dengan Tuhan dan Polisi. "Cukup Ahok yang mulutnya garang, masa iya kita rakyat ikut-ikutan, masa ulama dan habib-habib itu lebih garang!" ucap Budi.
Perihal sengkarut soal mulut, Budi masih pusing tujuh keliling. Dia ingat cerita buyutnya soal Gubernur Ali Sadikin tempo hari, yang apabila lagi berang, suka menyebut pembantunya di lingkungan DKI Jaya monyet atau kera. Monyet buat kepala bagian bawah, kera buat kepala bagian atas. Itu soal peranan mulut juga, walaupun kasar dan ceplas-ceplos, nama Ali Sadikin wangi seantero negeri. Hikayahnya, Ali Sadikin main tangan dan kaki pula, tidak hebat orang kalau belum ditampar olehnya. Jakarta kalau mau maju, orang sekaliber Ali Sadikin harus ambil kemudi, daripada jadi pemimpin pusing sendiri lihat kelakuan penduduknya.
Lain hal tempo dulu, sekarang mulut perlu juga disekolahkan. Kalau tidak penting-penting amat soal menjaga mulut, tidak ada jurusan komunikasi di seluruh kampus, juga kampus orang Inggris di Indonesia, London School of Public Relation. Itu semata-semata untuk menjaga mulut supaya tidak lepas kendali. Kalau mulut lompat mengumpat-umpat, yang rugi kamu orang sendiri. Tidak sadar mengumpat, Sekjen organisasi Islam dunia (OKI) sampai harus mengundurkan diri karena berkelakar pakai nama Presiden Mesir. Ibarat satu harimau dikeroyok jutaan rubah, ya keok. Penduduk Mesir yang jumlahnya 91,9 juta marah kepada Iyad Madani yang mantan menteri Arab Saudi itu.
Kata orang tua dulu, perempuan mulutnya banyak, tidak bisa diam, cerewet dan suka mengumpat, kecuali perawan yang lagi dipinang, diam saja tertunduk-tunduk, memilin-milin ujung rambutnya, itu artinya dia betul-betul mau. Lain cerita perempuan zaman sekarang seperti Bu Megawati, cuma bilang "Indonesia Raya," lalu terdiam, lalu berkaca-kaca, lalu tersedu-sedu, lalu berlinang air mata. Mungkin, itu ciri perempuan nasionalis. Perempuan seperti Hillary Clinton lebih suka adu mulut, pintar menangkis, mengalihkan pembicaraan dan menyerang, bahkan reporter BBC News Anthony Zurcher menyebutnya ahli strategi dalam berdebat. Hillary menyerang rivalnya Donald Trump menghabiskan 30 tahun umurnya membuat perempuan tak bermakna, merendahkan, mengejek dan menyerang perempuan. "Separuh umur Donald Trump digunakan untuk menyebut perempuan babi, anjing dan kata-kata tak senonoh lainnya," sebut Barack Obama yang merupakan kawan Hillary.
Jadi, memang mulut harus dijaga, kalau orang menyerang akibat mulut merocos, mengelak pun susah. Di Amerika, mulut bau calon presiden Donald Trump jadi bahan bully, bahkan dari seorang Presiden. Sebagian publik menilai Trump tidak cocok menjadi Presiden Amerika lantaran mulutnya. Sama halnya dengan Ahok, mulutnya menyebabkan banyak kritikan, cacian dan makian, bahkan gelombang besar demonstrasi yang menjadi kewaspadaan nasional direncanakan untuk menyerang mulut Ahok. Tapi, benar kah sengkarut mulut menyebabkan kerja tidak berguna? Sekali lagi, ini soal mulut, bukan soal kinerja.
Hok, mulutmu harimaumu, butuh pawang biar mulutmu tidak liar. Kerjamu bagus, perlu sedikit kontrol biar mulutmu tidak lacur. Iya!
Penulis adalah Antropolog Universitas Indonesia dan Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII DKI Jakarta periode 2014-2016.