Berbagai kebijakan dan tindakan pendukung Jokowier lebih mencerminkan pemanfaatan kekuasaan, jabatan dan uang hanya untuk melanggengkan kekuasan dengan cara machiavelian sekalipun. Pertimbangan utamanya adalah karena para Jokowier tidak mau terusik dari zona nyaman mereka.
Jokowier, rakyat ini sudah lama menderita, seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman pancarobah 6 tahun lalu, mereka sudah kasih talak 3 ke nagara.
Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted anugerah Ilahi. Dengan sumber daya alam yang melimpa ruah di bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup. Bahkan lebih aman.
Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yg dibuat oleh negara,
Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yg menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara. Nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu.
Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa. Kekuasaan memang penting. Namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan.
Orang Ambon sudah lama menderita, 50 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland. Sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri. Walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri.
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan. Meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode banyak orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri. Padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah.
Selain distribusi kekuasaan, ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif. Ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil, sampai saat ini belum pernah selesai. Bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970. Ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun secara baik.
Boleh saja percaya diri berlagak pemilik kuasa dengan Percaya Diri (PD tinggi), sementara Indeks Prestasinya (IP) rendah. Tetapi hidup manunggaling kawulo gusti. Perilaku yang memalukan karena negeri ini bukan monarki. Juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA. Negeri milik bersama.
Dimana kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat ( Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu esensi dari negara demokrasi. Maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice). Melalui distribusi kekuasaan ( distribution of power) dan distribusi pembangunan ( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif dan tahayul.
Penulis: Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis HAM