Dalam politik transaksional, bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan. Selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur , jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu. Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah. Kemudian dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?.
Memang berkuasa itu enak. Mumpung berkuasa, aji mumpung dan Itulah kekuasaan. Dengan berkuasa, secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya.
Ada benarnya jika seorang Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan cederung korup dan mau melakukan korupsi secara mutlak (power tends to korups, and will corupts absolutely). Karena itu kecenderungan pemimpin negeri ini berharap pada negara, pejabat dan sanak saudara. Berdagang pengaruh kekuasaan dan jabatan (trading in influences). Sebuah tindakan amoralitas yang berlangsung sejak Jaman (hukum hamurabi) babilonia, korupsi, kolusi dan nepotis. Seperti lazimnya negara berpolitik dan birokrasi patrimonial dinegeri Republik, egalitarian, rational dan democratis.
Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik. Sebagaimana Pengamat Politik berkebangsaan Australia Herber Feith pernah sampaikan. Kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik. Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik. Sehingga timbul kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis. Mereka tidak mengerti bahwa negeri mereka sedang dijarah dan rampok.
Apapun argumentasinya, negara ini telah berbaik hati pada penguasa dan pendukung. Hidup bersedekah dari negara seperti rakyat dinegeri feudal berhadap rezeki berberkah ratu pandito raja. Memalukan!.
Karena itu jangan pernah berpidato mengutif kata-kata kepahlawanan John F Kenedy. Yaitu jangan bertanya apa yang diberikan oleh negara tetapi bertanya apa yang Engkau berikan kepada Negara. Bulshit, omong Kosong. Tetap saja; Manunggaling Kawulo Gusti!
Mereka yang hidup manunggaling kawulo gusti tersebut yang sangat nampak saat ini. Adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung ahok, pendukung Mega, pendukung Luhut, hampir semua pendukung penguasa.
Para punggawa politik mereka oleh para pendukung menganggap sebagai titisan dewa. Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini. Bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap tita dewa, Devine Right of the King, seperti yang pernah praktekkan oleh raja Jhon di Inggris abad ke 15 pada masa monarki absolut. Sekali lagi itulah perwujudan nyata dari apa yang disebut manunggaling kawulo gusti.
Semoga Jokower pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial, objektif. Untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar tahayul, fanatisme agama, suku, ras antar golongan.
Kita sudah terlalu lama hidup didalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum Individu.
Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Pemimpin mesti memimpin secara rasional agar tiap warga negara hidup berkreasi dan kompetisi.
Sangat ironis bahwa Kelompok yang mengaku priyayi dan abangan tidak memiliki doktrin ideologi. Ideologi mereka hanya kekuasaan, mereka tidak punya harapan dan cita-cita untuk bumi putera. Karena mereka hamba sahaja kolonial sebagai pemungut cukai. Lain dengan kelompok santri yang jatuh bangun berjuang membebaskan negeri. Semua pahlawan yang merintis lahirnya negeri ini adalah pahlawan kaum bersorban.
Sudah 9’tahun memimpin negeri ini, berbagai sandiwara dipertontonkan para Jokowier. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik kekuasaan, mampu mengontrol otoritas negara, orang dekat kekuasaan. Pola pikir ponga dan bedebah yang dipertontonkan ke publik sebagai pedagang pengaruh (Trading in influences). Bayangkan berbagai kasus suap dan korupsi yang merusak bangsa ini. Sebagian besar di lakukan karena memanfaatkan atau memperdagangkan pengaruh. Menjual nama pejabat, kedekatan dengan pejabat dan bahkan sanak saudaranya.
Disaat yang sama selama 9!tahun juga menyerang para oposisi secara babi buta tanpa perasaan, tanpa berperikemanusiaan. Menyerang oposisi dengan berbagai kata-kata rendahan berbagai bentuk kekerasan verbal. Penyebutan monyet dan gorila oleh Jokowier kepada lawan politik, suatu tindakan yang relevan hanya dilakukan Simbol manusia tidak bernilai dan berbudaya karena cenderung diskriminatif dan rasialis.
Demikian pula ancaman labilitas intergradasi vertikal dan horisontal yaitu antara negara dan rakyat dan rakyat dan rakyat selama ini, khususnya sebagaimana dialami oleh umat islam sungguh menyakitkan di negeri Pancasila yang beragama mayoritas muslim.
Penyerangan, penganiayaan, pelarangan dan diskriminasi terhadap para ulama, kyai, ustad, habaib telah menyatakan secara lancang tentang adanya islamophobia di negeri ini. Hal ini merusak tatanan dan nilai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.